JURNAL ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DENGAN JOKOWI DALAM PENYUNAN KABINET


ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DENGAN JOKO WIDODO
DALAM PENYUSUNAN KABINET
JURNAL ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Prasyarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Dengan Spesifikasi Ilmu Pemerintahan








Oleh

AGUSTINUS TAENA
21 13 0065




PROGRAM  STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TIMOR
KEFAMENANU
2017





ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DENGAN JOKO WIDODO
DALAM PENYUSUNAN KABINET
Dian Festianto SIP, MA1, Yakobus Kolne, S.IP, M.Si.2, Agustinus Taena3

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS TIMOR
Jln. KM. 09 Kelurahan Sasi Jurusan Kupang-Kefamenanu, TTU, NTT, PO. BOX. 8513
Telp/Fax : (0388) 31865; e-mail : unimor@indo,net.id

ABSTRAK

Agustinus Taena, Analisis Perbandingan Gaya Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Dengan Joko Widodo Dalam Penyusunan Kabinet   dibimbing oleh Bapak Dian Festianto SIp, MA dan Bapak Yakobus Kolne, S.Ip, M.Si. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Perbandingan Gaya Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Dengan Joko Widodo Dalam Penyusunan Kabinet”. Fokus penelitiannya adalah “Gaya Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Dengan Joko Widodo Dalam Penyusunan Kabinet” dengan sub Penyusunan Kabinet sebelum Reshulfe. Tujuan  yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk  menganalisis  dan membandingkan Gaya Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Dengan Joko Widodo Dalam Penyusunan Kabinet”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yang bersifat deskriptif kualitatif studi komparasi dengan pendekatan kajian pustaka. Dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gaya kepemimpinan seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan keperibadian yang unik khas hingga tingkah laku dan gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dalam penentuan komposisi kabinet antara Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I Susilo Bambang Yudhoyono dengan Kabinet Kerja Joko Widodo sebelum reshulfe terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya dimana jumlah menteri sebanyak 34 dan 2 pejabat setingkat menteri, sedangkan perbedaannya dalam penempatan jatah politisi dan kalangan professional non partai yaitu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I yang berasal dari Politisi/Usulan Parpol/Tim Sukses sebanyak 21 orang (55%),  sedangkan dari kalangan professional non partai 15 orang (44,44%). Sedangkan Kabinet Kerja yang berasal dari Politisi/Usulan Parpol/Tim Sukses sebanyak 15 orang (41,66 %),  sedangkan dari kalangan profesional non partai 21 orang (58,33 %). Perbedaannya lainnya, Susilo Bambang Yudhoyono murni didukung oleh Partai Politik sedangkan Joko Widodo didukung oleh Partai Politik dan kelompok relawan yang berasal dari masyarakat sipil yang pada umumnya berasal dari kalangan professional non partai. Kehadiran relawan dalam proses demokrasi telah membawa kebangkitan pergerakan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian maka penulis menyimpulkan bahwa “Beda pemimpin beda gaya” hal inilah benar-benar tercermin ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo mempimpin Indonesia walaupun sama-sama pemimpin negara alias presiden namun gaya yang diterapkan berbeda-berbeda. Latar belakang seseorang sangat dipengaruhi   “sosio cultural, religious, di mana tokoh itu dibesarkan, bagaimana proses pendidikan intelektualnya, watak orang yang ada disekitarnya dan lain sebagainya serta “sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide dari tokoh, serta pembentukan watak seseorang. Oleh karena itu, Tidak selamanya pemimpin berlatar belakang militer akan tegas dalam mengambil keputusan dan pemimpin berlatar belakang sipil tidak tegas dalam mengambil keputusan karena gaya kepemimpinan seorang pemimpin identik dengan sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan keperibadian yang unik khas hingga tingkah laku dan gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain.

Kata kunci: Gaya Kepemimpinan, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, Penyusunan Kabinet
COMPARATIVE ANALYSIS OF LEADERSHIP STYLES
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO WITH JOKO WIDODO
IN THE PREPARATION OF THE CABINET
Dian Festianto SIP, MA1, Yakobus Kolne, S.IP, M.Si.2, Agustinus Taena3
 
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE
GOVERNMENT STUDY PROGRAMS
UNIVERSITY TIMOR
Jln. KM. 09 Kelurahan Sasi Jurusan Kupang-Kefamenanu, TTU, NTT, PO. BOX. 8513
Telp/Fax : (0388) 31865; e-mail : unimor@indo,net.id

ABSTRACT
 
Agustinus Taena, Comparative Analysis of the Style of Leadership Susilo Bambang Yudhoyono With Joko Widodo In The Preparation of Cabinet. Guided by Mr. Dian Festianto SIp, MA and Mr. James Kolne, S.Ip, M.Si. The problem raised in this research is "Comparison of Style Leadership Susilo Bambang Yudhoyono With Joko Widodo In Preparation Cabinet". The focus of his research is "Leadership Style Susilo Bambang Yudhoyono With Joko Widodo In Cabinet Formation" with sub-Preparation of the Cabinet before Reshulfe. The objective of this research is to analyze and compare "Style of Leadership Susilo Bambang Yudhoyono With Joko Widodo In Preparation Cabinet". The research method used is descriptive qualitative method of comparative study with literature review approach. And the data source used in this research is secondary data source. The results showed that one's leadership style is identical with the type of leadership of the person concerned. Leadership style of a leader that has the nature, habits, temperaments, character, and keperibadian unique unique to the behavior and style that distinguishes itself with others. In determining the composition of cabinet between United Indonesia Cabinet (KIB) Volume I Susilo Bambang Yudhoyono with Work Cabinet Joko Widodo before reshulfe there are similarities and differences. The similarity is where the number of ministers as many as 34 and 2 ministerial level officials, while the difference in the placement of rations of politicians and non-party professionals namely United Indonesia Cabinet (KIB) Volume I from Politicians / Proposals Political Parties / Team Success of 21 people (55%), While from non professional party 15 people (44,44%). While Working Cabinet from Politicians / Proposed Political Parties / Team Success of 15 people (41.66%), while from non-party professionals 21 people (58.33%). Another difference, Susilo Bambang Yudhoyono is purely supported by Political Parties while Joko Widodo is supported by Political Parties and volunteer groups coming from civil society which generally comes from non-party professionals. The presence of volunteers in the process of democracy has brought about a revival of movement in the system of government in Indonesia. Based on the results of the study, the authors conclude that "Different leaders of different styles" this is really reflected when Susilo Bambang Yudhoyono and Joko Widodo lead Indonesia even though alias state leaders alias the president but applied different styles. The background of a person is strongly influenced by "socio-cultural, religious, where the character is raised, how the intellectual education process, the character of the people around him and so on and" the nature, character, influence, both environmental influences and the influence of ideas and ideas of the characters , And the formation of one's character. Therefore, not always a military-oriented leader will be firm in making decisions and civilian background leaders are not firm in making decisions because a leader's leadership style is identical to the unique nature, customs, temperaments, temperaments, and personality that are unique to behavior and style Which distinguishes itself from others.
 
Keywords: Leadership Style, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, Cabinet Formatio




Sejak kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah dipimpin oleh tujuh orang presiden. Dari ketujuh presiden tersebut memiliki sejarah dan latar belakang yang berbeda-beda yakni “politisi murni, militer, ulama dan pengusaha”, sehingga gaya kepemimpinan masing-masing presiden berbeda-beda. Gaya kepemimpinan seorang presiden akan sangat berpengaruh dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Selama lebih dari 32 tahun negeri ini telah dirasuki gaya kepemimpinan berlatar belakang militer sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa pemimpinan yang berlatar belakang militer yang akan lebih pantas untuk memimpin Indonesia. Oleh karena itu, kepemimpinan militer dijadikan prioritas utama dan ditempatkan pada level nasional menyadari bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mengendalikan dan mengatasi krisis, maka diperlukan integritas dan kepekaan (sense of crisis) dalam rangka mengambil keputusan yang arif, cepat dan tepat. Dalam kepemimpinan militer dari sejak zaman Soeharto masyarakat aman tidak ada mengeluh baik dari segi ekonomi maupun lainnya sampai sekarang termasuk berhasil, bahwa kepemimpinan militer terkenal dengan kedisiplinan, baik dari segi sikap maupun dari ketegasannya. Sedangkan pemimpin berlatar belakang sipil diragukan kedepannya, karena begitu kuatnya kepemimpinan berlatar belakang militer dibalik kebijakan dan keputusan yang diambil pemerintah yang berkuasa dan atas dasar pertimbangan stabilitas dan kemampuan menangani cepat tanpa kegaduhan.
Lebih lanjut Juanda Wijaya (2006) mengatakan bahwa kepemimpinan sipil: (1) tidak tegas, (2) tidak memiliki kewibawaan dalam menentukan langkah-langkah strategis di bidang pemerintahan dan (3) Tidak mampu bertahan dalam tekanan. Sedangkan kepemimpinan militer (1) tegas, berwibawa dan memiliki akses langsung di bidang pertahanan keamanan; (2) Mampu mengambil langkah – langkah strategis di saat krisis; dan (3) Mementingkan martabat negara daripada menjalin hubungan diplomatis dengan negara lain.[1]
Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari tantangan untuk menghadapi musuh, sedangkan ciri-ciri militer sendiri mempunyai organisasi teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi, mentaati hukum yang berlaku dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak dimiliki atau dipenuhi, maka itu bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan bersenjata (Faisal Salam, 2006; 13).[2]
Sedangkan Wahab Ramadhan mengatakan bahwa pemimpin dari kalangan militer lebih mengutamakan kecepatan pengambilan keputusan, keputusan diambil oleh pucuk pimpinan tertinggi, sedangkan yang lainnya mengikuti keputusan itu sebagai perintah yang wajib diikuti konsekuensi rantai komando dalam militer. Pemimpin sipil selalu menggunakan gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan pemimpin berlatar belakang militer selalu mengandalkan gaya militer yang sarat dengan disiplin dan kental dengan ketentaraman.[3]
 Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo sama-sama pemimpin negara alias presiden. Dua-duanya punya kewenangan untuk mengatur lembaga dan institusi yang dibawahinya. Namun ada perbedaan mencolok terkait gaya kepemimpinan keduanya. Susilo Bambang Yudhoyono cenderung mengandalkan kemampuan bawahannya, mendorong mereka agar bekerja secara maksimal. Sementara Joko Widodo tipe pejuang (fighter) yang langsung turun ke lapangan menyelesaikan persoalan. Namun sebelum terjun ke lapangan, yang biasanya ditemani bawahannya, ia memegang data ihwal persoalan daerah yang dikunjunginya.
Namun lain pemimpin berarti lain juga gaya kepemimpinannya. Itulah yang bisa kita lihat dari gaya presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyusun dan memilih para menteri untuk masuk ke dalam kabinet yang diberikan nama ‘Kabinet Indonsia Bersatu (KIB) Jilid I.[4]
Tentu saja hal ini berbeda dengan pilihan menteri era Joko Widodo. Mulai dari gaya pelantikan hingga pemilihan, jelas terlihat perbedaan kental menteri pilihan di era Susilo Bambang Yudhoyono dan era Joko Widodo.[5]
Hal lain yang kontras dari keduanya, Susilo Bambang Yudhoyono berlatar belakang militer, Joko Widodo dari sipil. Untuk meraih kursi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono harus mendirikan partai sendiri berbekal popularitas yang melonjak karena citra  dizalimi oleh rezim incumbent, sedangkan Joko Widodo berkat kebijakannya yang populis di level bawah, dipromosikan oleh partai yang memiliki memiliki basis massa kuat. Yang paling membedakan adalah gaya keduanya dalam memimpin. Susilo Bambang Yudhoyono berkarakter perfeksionis, ingin selalu menjaga penampilan, baik dalam berbusana dan bertutur-kata. Saking hati-hati, presiden yang satu ini kerap dikritik lambat dalam mengambil keputusan. Adapun Joko Widodo cenderung mengalir, apa adanya, spontan, bergaya koboi. Ibarat kata, “pukul dulu, urusan belakangan”. Perfeksionisme  Susilo Bambang Yudhoyono juga tercermin dalam penyusunan kabinet. Sebelum memastikan orang-orang yang akan duduk di kabinetnya, Susilo Bambang Yudhoyono memanggil satu per satu calon menteri ke kediamannya di Cikeas, Bogor untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Sebuah mimbar lengkap dengan standing mike serta ruang tunggu bagi wartawan peliput disiapkan. Lalu, sebelum calon menteri dilantik, dilakukan penandatanganan kontrak politik. Joko Widodo, meskipun dalam proses penjaringan mempercayakan kepada tim ahli yang disebut sebagai Tim Transisi, calon menteri terpilih hanya diundang ke Istana untuk diajak bertukar pikiran mengenai bidang yang akan dipercayakan kepada mereka.[6]
Sementara dalam hubungan dengan partai politik, Partai Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat) diperlakukan sebagai penyambung lidahnya, sebaliknya Joko Widodo diperlakukan partainya (PDIP) sebagai penyambung lidah partai. Susilo Bambang Yudhoyono sering menggunakan waktu kerjanya untuk membicarakan partainya, sebaliknya Joko Widodo tidak mau membicarakan partainya di waktu kerjanya tetapi sering berkampanye atau mendukung kampanye di hari liburnya.[7]
Apabila ditinjau dari segi latar belakang, Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari kalangan militer sedangkan Joko Widodo adalah berlatar masyarakat sipil (civil society) yang berprofesi sebagai pengusaha. Latar belakang seseorang sangat dipengaruhi   “sosio cultural, religious, di mana tokoh itu dibesarkan, bagaimana proses pendidikan intelektualnya, watak orang yang ada disekitarnya dan lain sebagainya serta “sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide dari tokoh, serta pembentukan watak seseorang.
Pembawaan Susilo Bambang Yudhoyono, karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara karir, tampak agak formal. Kaum ibu tertarik kepada Susilo Bambang Yudhoyono karena ia santun dalam setiap penampilan dan apik pula berbusana. Penampilan semacam ini meningkatkan citra Susilo Bambang Yudhoyono di mata masyarakat. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas). Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.[8]
Sedangkan Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo disimboli dengan sebuah penyebutan nama kabinet yang tak biasa, yaitu Kabinet Kerja, sebuah pilihan kata yang sederhana namun menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam melayani rakyat dan bersungguh-sungguh melakukan perubahan. Seolah juga, Kabinet Kerja merupakan antitesis dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak hanya pilihan nama kabinet yang beda, melainkan juga penampilan fisik para pejabatnya juga berbeda. Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para menterinya kerap mengenakan pakaian kemeja tenun serta safari lengan pendek, maka Presiden Joko Widodo dan para menteri tampil dengan kemeja putih dengan tangan panjang terlipat dan baju dikeluarkan. Pakaian kemeja demikian tidak identik dengan pakaian pejabat, melainkan pakaian pekerja biasa jauh dari kesan mewah. Spirit itu yang tampaknya ingin diperkuat oleh Presiden Joko Widodo yang notabene sudah mempunyai citra kuat sebagai pelaku blusukan. Persepsi Joko Widodo sebagai pejabat negara yang gemar turun ke masyarakat tempak hendak ditularkan kepada Kabinet Kerja melaui penampilan simbol-simbol nama kabinet dan pilihan pakaian para menteri. Spirit kerja dan blusukan ditampilkan oleh pemerintahan Joko Widodo melalui penyusunan agenda kerja di bulan pertama.[9]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini menciptakan tradisi baru pelantikan para menteri yang tergabung dalam Kabinet Kerja 2014-2019, yaitu dengan menggunakan baju batik. Bahkan sebelumnya saat pengumuman nama-nama menteri, Joko Widodo mengharuskan para pembantunya memakai baju dan celana putih di halaman Istana Negara, Jakarta. Tradisi ini baru pertama kali dalam sejarah pelantikan kabinet dari zaman Presiden Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono, yang umumnya menggunakan stelan jas rapi. Tidaklah mengherankan dengan gaya kepemimpinan Joko Widodo yang khas itu.[10]
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak terjadi perpecahan koalisi kepartaian di parlemen. Walaupun Susilo Bambang Yudhoyono adalah Ketua Partai Demokrat, namun mampu mengawasi semua partai yang berkoalisi dalam pemerintahanya di parlemen. Sedangkan pada awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, terbentuk dua kubu koalisi di Indonesia, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sedangkan Aspek politik selama 100 hari pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berjalan kondusif dan tidak terjadi kegaduhan apapun. Sementara itu pada 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo terjadi kegaduhan politik, seperti terbelahnya parlemen dan perpecahan partai. Namun pada akhirnya Joko Widodo berhasil mempertahankan terjalinnya komunikasi politik dengan parlemen, bahkan ada kecenderungan positif KMP mulai mengurangi tekanan-tekanan politiknya seiring dengan misi pemerintahan Joko Widodo-JK untuk menyejahterakan masyarakat berjalan pada rel yang benar dan dinilai baik oleh KMP.[11]
Dalam proses penentuan komposisi susunan kabinet, presiden memiliki hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan siapa saja yang menjadi menterinya, sebagaimana telah diatur dalam pasal 17 ayat (2) UUD 1945 bahwa: Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri ini sebagai pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden bukan kepada DPR atau MPR. Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah kepada MPR.
Dalam sistem presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogratif presiden. Namun, teori dan praktik sering kali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar pada hak prerogratif, namun juga tergantung pada kompromi dan akomodasi politik. Justru masalah kompromi inilah yang lebih dominan mewarnai penyusunan kabinet. Dominasi tersebut semakin terang-benderang apabila sistem presidensial berdiri di atas sistem multi partai. Dalam kondisi demikian, sering terjadi presiden terpilih tidak menguasai mayoritas suara di parlemen. Hadirlah presiden minoritas, lahirlah pemerintahan terbelah yaitu pemerintahan yang agenda politik eksekutifnya berseberangan jalan dengan mayoritas aspirasi politik di legislatif.
Konsep dan Pengertian Kepmimpinan
Kepemimpinan adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan upaya untuk menciptakan cara agar rakyat dapat berkontribusi dalam pencapaian sesuatu hasil yang lebih baik. (Alan Keit, Lucas Digitasl).
Kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah di observasi tetapi menjadi salah satu hal yang paling sulit dipahami. (RichardL. Draft, 1999)
Dua kutipan di atas, dapat dimaknai kepemimpinan merupakan suatu masalah yang sulit karena ia sangat kompleks, terkait sifat dasar kepemimpinan itu sendiri mamang sangat rumit dan kompleks (Eko Maulana Ali, 2013: 15).[12]
Jadi pada dasarnya istilah pemimpin, kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin. Tetapi ketiga kata ini digunakan dalam konteks yang berbeda tergantung situasi dan kondisi dan istilah kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan keterampilan (skill), kecakapan, dan tingkat pengaruh seorang pemimpin (Eko Maulana Ali, 2013: 15).[13]

1)   Model dan Gaya Kepemimpinan
Perilaku pemimpinan sering disebut juga gaya kepemimpinan (Style of Leadership) dengan demikian, gaya kepemimpinan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan seseorang pemimpinan dalam mempengaruhi perilaku bawahannya dalam pencapaian tujuan yang diinginkan, (Eko Maulana Ali, 2013: 36).
Lebih lanjutnya menurut Eko Maulana Ali, (2013: 36) mengatakan bahwa istilah gaya secara sederhana adalah sama dengan cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi bawahan atau pengikutnya. Sedangkan menurut Toha dalam Eko Maulana Ali, 2013: 36) mengatakan bahwa:
“Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain”.[14]
Setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Di antara gaya kepemimpinan yang diterapkan tidak otomatis berarti gaya kepemimpinan yang satu dengan yang satu lebih baik atau lebih jelek dari pada gaya kepemimpinan yang lainnya. Dalam konteks upaya mencapai tujuan, model, dan gaya kepemimpinan yang satu bisa lebih efektif dan efisien dalam kasus tertentu, (Eko Maulana Ali, 2013: 37).
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Kartini Kartono (2008: 34) menyatakan sebagai berikut:[15]
1.    Sifat
2.    Kebiasaan
3.    Tempramen
4.    Watak
5.    Kepribadian
Selanjutnya menurut Rivai (2012) dalam Eko Maulana Ali (2013: 38) ada tiga macam gaya kepemimpinan yang mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai, yaitu:[16]
1)   Gaya kepemipinan otoriter
2)   Gaya kepemimpinan demokratis
3)   Gaya kepmimpinan bebas kendali (Laizes Faire)
Selanjutnya Eko Maulana Ali (2013: 43) mengatakan bahwa tipikal kepemimpinan dapat juga diklasifikasikan sesuai dengan pendekatan karakter dan perilaku pemimpin, sebagai berikut:[17]
1)      Kepemimpinan Viosioner
2)      Kepemimpinan Pelatihan dan Pembimbingan
3)      Kepemimpinan Afiliatif
4)      Kepemimpinan Demokratis
5)      Kepemimpinan komando
6)      Kepemimpinan Pacesetting
Model Kepemimpinan Transaksional
1)   Kepemimpinan Transaksional: Things Done Right
Secara sederhana model kepemimpinan transaksional didefinisikan sebagai suatu transaksi, antara pemimpinan yang dianggap sebagai bos dan pengikut atau pembantunya. Hubungan kerja antara pemimpin dengan yang dipimpin didasarkan kepada suatu proses barter yang didahului dengan kesepakatan kerja yang saling menguntungan (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[18]

2)   Kepemimpinan Transaksional: Sering Disalahmengerti
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang memiliki heterogenitas sosial, budaya ekonomi yang tinggi model kepemimpinan transaksional dianggap lebih tepat untuk diterapkan dalam dunia perpolitikan ditanah air. Pada suatu kasus tertentu masih saja ditemui bahwa model kepemimpinan transaksional jauh lebih efektif dalam upaya mencapai tujuan organisasi pemerintahan. Model ini masih dirasakan sebagai sesuatu tepat dibandingkan model kepimimpinan transformasional yang dianggap lebih kompatibel dengan sistem sosial politik demikratis ternyata tidak semua berhasil dilaksanakan dengan mulus (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[19]
3)   Konsep dan Pengertian Kepemimpinan Transaksional
Menurut Eko Maulana Ali (2013: 55) kepemimpinan transaksional merupakan salah satu gaya kepemimpinna yang intinya menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Selanjutnya Burns dalam Eko Maulana Ali (2013: 55) mengemukakan bahwa:
“Kepemimpinan transaksional dicirikan dengan perancangan tujuan-tujuan tugas, penyediaan sumber daya untuk mencapai tujuaan – tujuan tersbut, dan penghargaan terhadap kinerja”.[20]
Jadi pada dasarnya kepemimpinan transaksional merupakan suatu  serangkan tawar menawar diantara kedua pihak atau lebih dalam hal ini Gibson, Ivancevich, dan Donelly (2000) dalam Eko Maulana Ali, (2013: 55) menambahkan, bahwa kepemimpinan transaksional akan menyesuaikan berbagai tujuan, arah, dan misi dengan alasan praktis.[21]
1)   Kepemimpinan Transfomsional
Teori – teori tentang kepemimpinan transformasional banyak dipengaruhi oleh pandangan James McGregor (1978) dalam Eko Maulana Ali, (2013: 95) bahwa:
“pemimpin transfomasional memunculkan nilai-nilai moral pengikutnya dalam upaya untuk meningkatkan keyakinannya tentang isu-isu etika dan memobilisasi energy sumber daya mereka guna mereformasi suatu institusi”.[22]
Pada prispinya, menurut Gibson, Ivancevich dan Donnelly dalam Eko Maulana Ali, (2013: 104) mengatakan bahwa:
“kepemimpinan transfomasional - jika dibandingkan dengan model kepemimpinan transaksional – membuat perubahan-perubahan besar pada: misi unit kerja atau organisasi atau unit kerja, cara-cara menjalankan kegiatan, dan manajemen sumber daya manusia untuk mencapai misi yang telah ditetapkan”.[23]
Selanjutnya menurut Bass dalam Eko  
2)   Definisi Kepemimpinan Transformasional
Istilah transfomasi secara etimologis berasal dari kata to transform yang bermakna mengubah sesuatu meenjadi bentuk lain yang berbeda. Ketika kedua kata ini digabungkan makna yang terkandung menjadi lebih luas daripada gabungan makna keduanya secara matematis.
Menurut Keller dalam dalam Eko Maulana Ali (2013: 106) mengemukakan bahwa:
“gaya kepemimpinan transfomasional adalah sebuah gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemenuhan terhadap tingkatan tertinggi dari hierarki Maslow yakni kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri”.[24]
Sementara menurut Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka demi kepentingan organisasi yang lebih besar.[25]
Jadi dari beberapa definisi di atas, Penulis menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional memberikan wewenang sepenuhnya kepada bawahan untuk membuat kebijakan/keputusan atau memberikan kesempatan sepenuhnya kepada bawahan untuk mengaktualisasikan diri.
3)   Model dan Karakteristik Kepemimpinan Transformasional
Menurut Eko Maulana Ali (2013: 109) mengatakan bahwa: konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (styll) dan kontijensi.[26]
Sedangkan Bass dalam Eko Maulana Ali (2013: 109) mengindikasikan ada tiga ciri-ciri kepemimpinan transformasional yaitu:
“kharismatik, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri kepemimpinan transformasional. Dan Perhatian pemimpin transformatif juga terkait dengan perbaikan kualitas moralitas dan motivasi dari bawahan yang dipimpinnya”.[27]
4)   Kepemimpinan Transformasional Sebuah Kontinum
Apabila manajer transaksional hanya membuat penyesuain – penyusuaian kecil pada misi, struktur dan manajemen sumber daya manusia, maka pemimpim transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun juga mendorong perubahan besar-besar pada sistem organisasi. Pembongkaran sistem inilah yang benar-benar membedakan pemimpin transformasional dengan transaksional. (Trichy dan Ulrich)[28]
Jadi kedua model kepemimpinan ini mengandung sebuah unsur kepemimpinan yang baik dan telah teruji kelayakannya secara teoritik dan telah pula diimplemntasikan dalam berbagai kontek dan dalam kurun waktu tertentu.

Model Kepemimpinan Kharismatik
1)   Definisi Kepemimpinan Kharismatik
Max Weber (1947) dalam Eko Maulana Ali (2013: 79) menggunakan istilah kharisma dalam menjelaskan bentuk dari suatu persepsi terhadap bawahan yang menjelaskan bahwa:
“pemimpin diberkahi oleh suatu kemampuan lebih”. Kharisma adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti berkat yang terinspirasi secara agung atau dengan bahasa lain yakni anugerah (grace). Kharisma adalah kemampuan yang luar biasa dan mistis.[29]
Model Kepemimpinan Integratif: Proses, Praktik dan Dampaknya
1)   Kepemimpinan Integratif yang Visioner
Menurut Eko Maulana Ali (2013: 225) mengemukakan bahwa pemimpin integratif adalah:
“pemimpin yang setiap saat dapat diajak berdiskusi, bertukar pikiran dan menerima saran dari bawahannya, dan sekaligus konsen kepada kehidupan pengikutnya. Dengan demikian pemimpin integratif mampu bersama-sama pengikutnya membangun visi organisasi yang dipimpinnya secara lebih terarah dan terstruktur, sehingga mudah dipahami untuk didalami menjadi visi bersama”.[30]
Kabinet
Kabinet adalah suatu badan yang terdiri dari pejabat pemerintah senior/level tinggi, biasanya mewakili cabang eksekutif. Kabinet dapat pula disebut sebagai Dewan Menteri, Dewan Eksekutif, atau Komite Eksekutif, penyebutan ini tergantung pada sistem pemerintahannya dan diketuai oleh presiden atau perdana menteri sebagai pimpinan kabinet.[31]
Berdasarkan sejarahnya, awal mula kabinet adalah sebagai sub kelompok kecil dari Dewan Penasihat Monarki Inggris. Istilah ini berasal dari nama sebuah Kabinet (ruang) yang digunakan untuk mengkaji suatu masalah. 
Sedangkan di Indonesia, orang-orang yang berada di dalam kabinet disebut menteri, tugasnya adalah menjalankan amanat presiden dan memimpin departemen-departemen yang ada di dalam pemerintahan.[32]
1)   Macam-Macam Kabinet
a.       Kabinet Presidensil
Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden. Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung jawab kepada parlemen/DPR melainkan kepada presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.[33]
Sistem Pemerintahan Indosnesia
Setiap Negara memiliki sistem untuk menjalankan kehidupan pemerintahannya. Sistem tersebut adalah sistem pemerintahan.  Sejak tahun 1945 Indonesia pernah berganti sistem pemerintahan. Indonesia pernah menerapkan sistem parlementer dan presidensil. Selain itu terjadi juga perubahan pokok-pokok sistem pemerintahan sejak dilakukan amandemen UUD 1945.[34]
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Namun dalam perjalanannya, Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer karena kondisi dan alasan yang ada pada waktu itu. Berikut adalah sistem pemerintahan Indonesia dari 1945-sekarang.[35]

Tabel 1. Sistem Pemerintahan  yang pernah diterapkan di Indonesia
No
Tahun
Sistem Pemerintahan
1.
1945-1949
Presidensial
2.
1949-1950
Quasy Parlementer
3.
1950-1959
Parlementer
4.
1959-1966
Presidensil
5.
1966-1998
Presidensil

Menurut Umi dan Heri (dalam Arend Lijphart, 1955: 14-17) dalam sistem presiden terdapat kelebihan-kelebihan diantaranya: (1) adanya stabilitas eksekutif atau pemerintahan, (2) pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dipandang lebih demokratis daripada pemelihan tidak langsung dalam sistem parlementer, (3) adanya pemisahan kekuasaan, yang berarti pemerintahan dibatasi dan adanya perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah.[36]
Selanjutnya juga Umi dan Heri (dalam Arend Lijphart, 1955: 18-22) mencatat tiga kekurangan sistem presidensil yaitu: (1) masalah kemandegan atau konflik eksekutif-legislatif yang bisa berubah menjadi “jalan buntu” dan kelumpuhan sebagai akibat dari ko-eksistensi dari dua badan independen yang diciptakan oleh pemerintah presidensil, (2) kekuatan temporal, dimana masa jabatan presiden yang pasti menguraikan periode-periode yang dibatasi secara kaku dan tidak berkelanjutan sehingga tidak memberi kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian yang dikehendaki oleh keadaan, dan (3) sistem ini berjalan atas dasar aturan “pemenang menguasai semua yang cenderung membuat politik demokrasi sebagai sebuah permainan dengan semua potensi konfliknya.[37]

A.    METODE PENELITIAN
1)      Jenis Penelitian
Mengadakan survey terhadap data yang telah ada merupakan langkah yang penting dalam metode ilmiah. Memperoleh data dari penelitian terdahulu harus dikerjakan, tanpa memperdulikan apakah sebuah penelitian menggunakan data primer atau data sekunder, apakah penelitian tersebut menggunakan Penulisan lapangan ataupun laboratorium atau di dalam museum. Menelusuri literatur yang ada serta menelaahnya secara tekun merupakan kerja kepustakaan yang sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian (Nasir, 2005: 93).
2)      Lokasi Penelitian
Seorang Peneliti dalam rangka pelaksanaan pengumpulan data, harus menentukan sumber-sumber data serta lokasi dimana sumber data tersebut dapat ditemukan dan diteliti. Berbeda dengan objek penelitian lapangan, lokasi penelitian untuk penelitian kepustakaan jauh lebih luas bahkan tidak mengenal batasan ruang. Hal ini berarti lokasi pengumpulan data dapat ditemukan di manapun manakala tersedia kepustakaan yang sesuai dengan objek material penelitian tersebut. Lokasi tersebut dapat merupakan tempat tertentu misalnya perpustakaan, toko-toko buku, pusat studi, pusat penelitian, bahkan dapat pula melalui internet. Dari berbagai lokasi Penulisan tersebut perpustakanlah sebagai salah satu sumber data yang paling kaya dan mudah di temukan (Kaelan, 2012: 147).
Sesuai dengan pendapat Kaelan di atas, maka yang dijadikan lokasi Penelitian ini adalah: Perpustakan Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara.
3)      Desain Penelitian
Tiap Penelitian harus direncanakan. Untuk itu diperlukan suatu desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara mengumpulkan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Desain penelitian yang banyak kita dapati ialah desain survey, case study dan eksperimen. (Nasution, 2007: 27-28).
Namun yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi komparasi dengan pendekatan kajian pustaka.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini adalah Analisis perbandingan gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penyusunan kabinet.
a)      Definisi Konsep
Definisi konsep merupakan tahapan memberikan batasan-batasan pengertian atau istilah terhadap suatu masalah sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan terperinci terhadap penelitian yang akan dilakukan. Agar fokus penelitian lebih jelas dan terarah, maka peneliti membuat pembatasan dan penegasan terhadap definisi konsep, yaitu sebagai berikut:
1)      Gaya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang pemimpin dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
2)      Kabinet adalah dewan menteri yang bertugas membantu presiden serta diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
b)     Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran lanjut dari variable penelitian sehingga dapat diukur melalui analisis data-data yang ada kaitannya dengan gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penyusunan kabinet.
Analisis perbandingan gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penyusunan kabinet maka dapat dianalisis melalui aspek-aspek berikut:
1.    Kedudukan SBY dan Jokowi Dalam Partai Politik
2.    Jumlah Partai Politik Koalisi SBY dan Jokowi di Parlemen
3.    Tekanan Politik yang dihadapi SBY dan Jokowi Paska Pilpres
4.    Proses Seleksi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)  Jilid I dan Kabinet Kerja        
5.    Perbandingan Strategi SBY dan Jokowi dalam Menghadapi Dinami Politik di Internal Partai Pendukung
6.    Jumlah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I dan Kabinet Kerja sebelum Reshulfe
7.    Orientasi SBY dan Jokowi dalam Menentukan Komposisi Kabinet
4)      Instrumen Penelitian
Menurut Nasution dalam Kaelan (2012: 158) mengatakan bahwa suatu ciri khas penelitian kualitatif adalah peneliti secara langsung terjun dalam melakukan penelitian, bahkan Peneliti adalah “key instrument”. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa Peneliti harus secara aktif dan terlibat langsung dalam penelitian. Terutama dalam penelitian kepustakaan, Peneliti tak dapat menggunakan tenaga lain sebagai pembantu dalam melakukan pengumpulan data, dan jikalau ini dilakukan maka Peneliti akan mengalami kesulitan besar. Hal ini disebabkan bahwa dalam pengumpulan data kepustakaan, senantiasa dilandasai oleh keterangan atau dugaan sementara, yang dalam penelitian kualitatif disebut hipotesis (Kaelan, 2012: 158).
Jadi dalam penelitian kepustakaan Peneliti merupakan instrument utama, sehingga apa yang harus dikumpulkan pertama kali sangat tergantung pada Peneliti. Keterangan sementara memberikan arah terhadap unsur-unsur yang harus digali dari data penelitian yang terkandung dalam sumber data kepustakaan (Kaelan, 2012: 159).
5)   Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data Penulisan studi kepustakaan kegiatan utama Penulis adalah membaca dan mencatat informasi yang terkandung dalam tersebut. Tugas utama Peneliti adalah menangkap makna yang terkandung dalam sumber data kepustakaan tersebut (Kaelan, 2012: 163).
Lebih lanjut di jelaskan oleh Nasir (2005: 103) bahwa membaca dan mencatat informasi merupakan bagian yang paling penting dalam studi kepustakaan.
Jadi teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah membaca dan mencatat atau mengutip hal-hal yang berkaitan dengan objek material yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
a)      Membaca
b)     Mengutip Informasi
6)      Sumber Data
Sumber data dalam Penulisan kualitatif studi kepustakaan banyak sekali dari buku teks sampai dengan surat kabar. Dalam penelitian ilmiah, selain dari buku referensi digunakan juga sumber-sumber berikut: (a) Buku teks (textbook); (b) Jurnal; (c) Yearbook; (d) Bulletin; (e) Annual review; dan Recen advances (Nasir, 2005: 105).
Sumber data yang digunakan dalam Penulisan ini adalah sumber dari bahan bacaan yang disebut sumber sekunder. Sumber-sumber sekunder meliputi sumber lain seperti majalah, bulletin, publikasi dari berbagai organisasi, lampiran-lampiran dari badan – badan resmi seperti kementerian-kementerian, hasil-hasil studi, tesis, hasil survey, studi historis, dan sebagainya. (Nasution, 2007: 144-145).
Bahan – bahan dari sumber sekunder dapat dipandang sebagai data yang dikumpulkan sendiri dank arena itu harus diberi perlakuan dan pengolahan yang sama. Artinya bahan itu masih perlu diseleksi, digolongkan diselidiki validitas dan reliabilitasnya, dibandingkan sebelum digunakan untuk menguji hipotesis dan teori masalah penelitian kita (Nasution, 2007: 145).
Data itu dapat digunakan untuk memperoleh generalisasi-generalisasi yang bersifat ilmiah atau memperoleh pengetahuan ilmiah yang baru, dan dapat pula berguna sebagai pelengkap informasi yang telah dikumpulkan sendiri oleh Peneliti. Dan akhirnya itu dapat juga memperkuat penemuan atau pengetahuan yang telah ada (Nasution, 2007: 145).
Sumber sekunder (secondary resources), juga termasuk dokumen-dokumen ekspresif (expressive documents), seperti biografi, autobiografi, surat-surat, dan buku-buku harian termasuk juga laporan media massa (mass media reports) baik melalui surat kabar, majalah, radio, televise, maupun media cetak dan elektronis lainnya (Sanapiah Faisal, 2007: 53). 
Jadi sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder.
7)      Tahap Analisis Data
a)    Analisis pada Waktu Pengumpulan Data
b)   Analisis Setelelah Pengumpulan Data
8)      Objek Penelitian
Objek penelitian dalam ilmu dapat dibedakan atas objek formal dan objek material. Objek formal adalah objek yang menyangkut sudut pandang, yaitu dari sudut pandang apa objek material kajian ilmu itu dibahas atau dikaji. Adapun objek material adalah objek adalah objek yang merupakan fokus kajian dari suatu ilmu pengetahuan tertentu (Kaelan 2012: 49).
Jadi yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah perbandingan gaya kepemimpinan antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penentuan komposisi kabinet.
9)      Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam setiap proses analisis data, tergantung pada tipe atau model Penulisan yang dilakukan, mengingat dalam Penulisan kualitatif kepustakaan bidang ilmu interdisipliner terdapat banyak tipe dan modelnya tergantung pada objek formal dan material Penulisan (Kaelan, 2012: 178). Oleh karena dari sekian banyak metode yang diuraikan oleh Kaenal, Penulis hanya memilih beberapa metode yang disesuaikan dengan objek formal dan material penelitian, yaitu sebagai berikut.

a.    Metode Verifikasi Historis
b.    Metode Deskriptif Historis
c.    Metode Rekonstruksi Biografis
d.   Metode Komparatif

D.  PEMBAHASAN
1)   Kedudukan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo Dalam Partai Politik
a)    Kedudukan Susilo Bambang Yudhoyono dalam Partai Demokrat
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono kalah dalam pencalonannya sebagai wakil presiden RI pada pilpres tahun 1999, maka muncullah ide untuk mendirikan sebuah Partai Politik guna mengantar Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden pada periode mendatang. Sebagaimana dikemukakan dalam Muslim Hafidz bahwa lahirnya partai demokrat adalah salah satu cara untuk memberikan perahu kepada Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden RI.
Selanjutnya para simpatisan Susilo Bambang Yudhoyono diantaranya adalah Vence Rumangkang dan Sutan Batugana mulai mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan persyaratan pendirian partai politik sesuai dengan dikemukakan lebih lanjut oleh Muslim Hafidz yang dikutip dari website partai demokrat bahwa Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan diskusi di apartemen Hilton untuk pembntukan partai demokrat.
Maka dengan demikian, pendirian partai demokrat bukan demi kepentingan masyarakat Indonesia tetapi hanya sebagai untuk mengantar seorang Susilo Bambang Yudhoyono ke pucuk pimpinan Negara yaitu Preiden Republik Indonsia periode 2004-2009 dan priode 2009 – 2014. Akhirnya apa mereka cita-citakan berhasil, dan Partai demokrat menjadi salah satu partai politi peserta pemilihan umum 2004 dengan meraih 57 kursi di DPR.[38]
Pada Kongres I Partai Demokrat di Bali terjadilah pngukuhan Tiga Serangkai yang berperan penting dalam pendirian partai demokrat yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Vence Rumangkang dan Tim Krisna Bambu Apus (Kurdi Mustofa).[39]  
Jadi Susilo Bambang Yudhoyono telah menyiapkan media yang bertugas untuk menjaga image Susilo Bambang Yudhoyono di mata masyarakat Indonesia atau melalui politik pencitraan ala Susilo Bambang Yudhoyono sehingga ketokohannya tetap terjaga.
Menurut penulis, kedudukan Susilo Bambang Yudhoyono dalam Partai Demokrat adalah tokoh pendiri partai demokrat, namun pada waktu itu Susilo Bambang Yudhoyono masih menjabat Menkopolhukam sehingga yang mengurus proses pendiriannya adalah para simpatisannya, sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono berada di balik layar, atau yang lebih dikenal dengan istilah politik lempar batu ala Susilo Bambang Yudhoyono.
b)      Kedudukan Joko Widodo dalam PDI Perjuangan
Kedudukan Joko Widodo dalam tubuh PDI Perjuangan tidak lain tidak bukan hanyalah sebagai kader atau dengan kata lain hanyalah petugas partai partai yang bertugas mnjalankan misi-misi partai seperti yang disampaikan oleh Megawati dengan tegas dalam Kongres di PDI Perjuangan di Bali bahwa: “Kalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!”.
Selain istilah petugas partai Joko Widodo juga masih dianggap sebagai presiden boneka atau bonekanya Megawati Sukarnoputri oleh sebagian masyarakat Indonesia dan bahkan Prabowo bahwa jangan pilih capres bonekha
Jadi kedudukan Joko Widodo dalam tubuh PDI Perjuangan hanyalah sebagai kader biasa bukan pimpinan partai, beliau hanyalah masyarakat biasa yang berprofesi sebagai pengusaha.  
2)   Jumlah Partai Politik Koalisi Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo di Parlemen
Apabila ditinjau dari dukungan partai politik terhadap Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo sangat berbeda seperti berikut ini.
1)   Jumlah Partai Politik Koalisi Susilo Bambang Yudhoyono
Dalam Negara yang menganut sistem presidensil dengan model sistem multipartai tidak ada partai mayoritas diparlemen yang terjadi hanya partai minoritas oleh karena itu harus adanya koalisi.
Jadi partai yang berkoalisi dalam mendukung Susilo Bambang Yudhoyono karena tidak ada kesamaan ideologi sehingga anggota mereka di parlemen hanya bermanufer untuk mendapatkan jabatan di kementerian ketimbang mendukung Susilo Bambang Yudhoyono untuk memuluskan setiap kebijakannya.
Jadi menurut penulis, ketidakmampuan Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengontrol partai koalisinya di parlemen disebabkan dua faktor yang pertama, karena koalisi dibangun secara bertahap dan ketidak konsistenan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pembagian kursi di di kabinet. Pendukung pada tahap pertama mendapatkan jatah kursi di lebih sedikit sedangkan yang bergabung pada tahap kedua karena jumlah kursinya di parlemen lebih banyak maka di berikan jatah lebih sehingga menimbulkan konflik di di internal mereka sendiri. Yang lebih fatal lagi seperti seperti partai Golkar “mereka tidak mau hanya jadi bemper pemerintah di DPR, sementara kursi kabinetnya sedikit”.
Ketidakmampuan Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengontrol partai koalisinya diparlemen juga disebabkan karena tidak adanya visi bersama di antara partai yang berkoalisi sehingga kepentingan atau aspirasi dari partai lain tidak terakomodir dalam pemerintahannya. Namun yang terjadi semua partai yang berkoalisi hanya memperjuangkan visi Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.
Hal sesuai dengan pendapat Eko Maulana Ali (2013) yang mengemukakan bahwa:
“Membangun visi bersama adalah sesuatu tahapan yang membedakan antara kepemimpinan transformasional dengan tipikal kepemimpinan lainnya. Visi dan misinya ditetapkan secara botton-up, yaitu dengan membangun aspirasi dari bawah atau masyarakat”.
Selanjutnya Fristian Humalanggi, dkk,. (2014) yang mengatakan bahwa:
“Sistem multipartai adalah sistem kepartaian dimana dalam negara terdapat bermacam-macam partai politik yang mempunyai wakil dalam parlemen dimana tidak ada satu partai politik pun yang menguasai suara mayoritas di dalamnya. Pada umumnya, keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multipartai.Perbedaan-perbedaan yang meliputi perbedaan ras, agama atau suku bangsa mendorong kelompok masyarakat untuk cenderung menyalurkannya dalam suatu wadah tertentu. Dengan demikian, sistem multipartai dianggap lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik dalam suatu Negara”.[40]
“Kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representation yang diterapkan di Indonesia saat ini menyebabkan sulitnya memperoleh suara mayoritas di badan legislatif dan majority government. Hal ini mendorong pembentukan pemerintahan koalisi. Prof. Bagir Manan mengartikan koalisi sebagai sistem eksekutif yang disusun, didukung dan terdiri dari orang-orang yang mewakili partai-partai politik yang mempunyai wakil di badan legislatif, dan bertanggung jawab kepada badan legislatif yang dibentuk untuk memperoleh dukungan mayoritas badan legislative”.[41]
2)   Jumlah Partai Politik Koalisi Joko Widodo
Dalam Negara yang menganut sistem presidensil dengan model sistem multipartai tidak ada partai mayoritas diparlemen yang terjadi hanya partai minoritas oleh karena itu harus adanya koalisi.
Setelah pasca pemilihan presiden periode 2014-2019 situasi politik tanah air semakin mencekam yang dimana peserta pilpres hanya dua kandidat yaitu pasangan Prabowo – Hatta dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kala, masing-masing pasangan memiliki koalisi masing-masing yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan kekuatan diparlemn 208 kursi dan Koalisi Merah Putih dengan kekuatan di parlmen 352 kursi.
Berdasarkan uraian di atas, maka era kepemimpinan Joko Widodo terdapat dua (2) koalisi besar yakni koalisi pendukung pemerintah dan koalisi Oposisi pemerintah. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) Joko Widodo – Jk terdiri dari PDI Perjuangan, PKB, Partai NASDEM, Partai Hanura dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dengan jumlah kursi di DPR berjumlah 246 kursi di DPR sedangkan partai oposisi terdiri dari Partai GERINDRA, PAN, PKS, Partai Golkar 253 kursi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Fristian Humalanggi, dkk,. (2014) yang mengatakan bahwa:
“Sistem multipartai adalah sistem kepartaian dimana dalam negara terdapat bermacam-macam partai politik yang mempunyai wakil dalam parlemen dimana tidak ada satu partai politik pun yang menguasai suara mayoritas di dalamnya. Pada umumnya, keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multipartai.Perbedaan-perbedaan yang meliputi perbedaan ras, agama atau suku bangsa mendorong kelompok masyarakat untuk cenderung menyalurkannya dalam suatu wadah tertentu. Dengan demikian, sistem multipartai dianggap lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik dalam suatu Negara”.[42]
“Kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representation yang diterapkan di Indonesia saat ini menyebabkan sulitnya memperoleh suara mayoritas di badan legislatif dan majority government. Hal ini mendorong pembentukan pemerintahan koalisi. Prof. Bagir Manan mengartikan koalisi sebagai sistem eksekutif yang disusun, didukung dan terdiri dari orang-orang yang mewakili partai-partai politik yang mempunyai wakil di badan legislatif, dan bertanggung jawab kepada badan legislatif yang dibentuk untuk memperoleh dukungan mayoritas badan legislatif”.[43]

3)   Tekanan Politik yang dihadapi Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo Paska Pilpres
1)   Tekanan – Tekanan Politik yang Dihadapi Susilo Bambang Yudhoyono Paska Pilpres Tahun 2004
Tekan politik dari orang-orang dekat maupun partai politik pndukung yang dihadapi Susilo Bambang Yudhoyono paska pilpres 2004 terlihat jelas dalam proses penjaringan menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang dikutip Penulis melalui liputan6.com bahwa tekanan dari pihak internal Susilo Bambang Yudhoyono cukup keras guna mendapatkan posisi sebagai di kabinet.
Sementara Susilo Bambang Yudhoyono adalah pendiri Partai Demokrat atau partai yang sengaja dibentuk oleh Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dan para simpatisannya guna dijadikan perahulu yang akan mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono ke kursi kepresidenan sehingga tidak ada tekanan dari pihak internal Susilo Bambang Yudhoyono.
Jadi menurut hemat Penulis bahwa Susilo Bambang Yudhoyono hanya mendapat tekanan dari pihak internal partai pendukungnya pada pilpres 2004 dalam hal meminta jatah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I.
2)   Tekanan – Tekanan Politik yang Dihadapi Joko Widodo Paska Pilpres Tahun 2014
Setelah paska pilpres tahun 2014 Joko Widodo tidak hanya mengalami tekan dari pihak eksternal namun dalam internal parati politik pengusung dan penuku juga melakukan berbagai tekanan demi kepentingan politik kelompok mereka masing-masing. Dari kalangan eksternal, kubu pendukung pasangan Prabowo-Hatta kalah dalam pertarungan Pemilihan Umum Presiden tahun 2014, mereka tidak kehabisan akal untuk mencari kekuasaan melalui lembaga-lembaga tinggi Negara yang sama kedudukannya dengan pemerintah seperti di DPR. Mereka terus bergerilya untuk mencari kekuasaan demi menekan Joko Widodo melalui parlemen.
Sedangkan dari kubu internalnya Joko Widodo pun melakukan berbagai tekanan demi kepentingan kelompok mereka masing-masing, salah satunya adalah pembagian jatah menteri di kaabinet.
Jadi menurut hemat penulis, walaupun pihak eksternal dalam hal ini Koalisi Merah Putih (KMP) telah menguasai parlemen namun Joko Widodo masih tetap pada pendiriannya yaitu bahwa "Prinsipnya, saya terbuka saja. Kalau ada yang mau gabung, ya, silakan," katanya. Sedangkan tekanan dari internalnya sendiri inilah yang kemudian menimbulkan konflik internal dalam partai politik pengusungnya yang disampaikan Megawati dalam pidato politik pada Kongres IV PDI Perjuan di Bali bahwa semua kader partai yang berada di eksekutif maupun legislatif wajib menjalan tugas sesuai garis perjuangan partai, lebih tegas lagi Megawati mengatakan bahwa semua kader partai adalah petugas partai, hal ini dikatakan dengan tegasKalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!”.
Jadi walaupun Joko Widodo mendapat berbagai tekanan baik dari pihak internal maupun eksternal, namun Joko Widodo berusaha yakni ingin membentuk kabinet profesional, bukan ''Kabinet Politik''.
4)   Proses Seleksi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)  Jilid I dan Kabinet Kerja
“Beda pemimpin beda gaya” hal inilah benar-benar tercermin ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo mempimpin Indonesia walaupun sama-sama pemimpin negara alias presiden namun gaya yang diterapkan berbeda-berbeda. Dua-duanya punya kewenangan untuk mengatur lembaga dan institusi yang dibawahinya. Namun ada perbedaan mencolok terkait gaya kepemimpinan keduanya. Namun lain pemimpin berarti lain juga gaya kepemimpinannya. Itulah yang bisa kita lihat dari cara presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyusun dan memilih para menteri untuk masuk ke dalam kabinet yang diberikan nama ‘Kabinet Indonsia Bersatu (KIB) Jilid I seperti yang dikutip penulis melalui majalah Tempo di bawah ini dengan judul Beda Gaya Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo Memilih Menteri”.
Jadi sesuai dengan hal di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa mekanisme yang diterapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo berbeda-beda. karena  kedua tokoh ini berbeda latar belakang Susilo Bambang Yudhoyono berlatar belakang militer, Joko Widodo dari sipil.  Tentu saja hal ini berbeda dengan pilihan menteri era Joko Widodo. Mulai dari gaya penjaringan hingga pelantikan  jelas terlihat perbedaan kental menteri pilihan di era Susilo Bambang Yudhoyono dan era Joko Widodo seperti diuraikan berikut.
1)   Proses Seleksi Menteri Ala Susilo Bambang Yudhoyono
Di dalam negara yang menganut sistem presidensil menteri-menteri diangkatdan diberhentikan oleh presiden hal ini telah diatur dalam UUD 1945 pasal 17 (2) menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Presiden ini sebagai pembantu presiden bertanggung jawab kepada Presiden bukan kepada DPR atau MPR. Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah kepada MPR. Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengangkat menteri-menterinya dilakukan melalui audisi dimana para calon mentri dipanggil ke kediamannya di Cikeas dan mengikuti dan feat and properties dan sebagainya hal ini dungkapkan oleh Fahmi Idris.
Menurut hemat penulis proses penjaringan calon menteri Kabinet Indonsia Bersatu (KIB) I ibarat tes masuk militer dimana  para calon menteri di undang sendiri oleh Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengikuti ujian tertulis, wawancara, menjalani pemeriksaan kesehatan, termasuk psikotes, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dan mengundang media untuk meliput semua proses penjaringan calon menteri namun kemudian Susilo Bambang Yudhoyono mempersalahkan media yang meliput karena para calon menteri yang gagal namanya sudah disiarkan diseluruh tanah air. Gaya penjaringan calon menteri ala Susilo Bambang Yudhoyono ini kemudian menimbulkan kekecewaan dari berbagai pihak karena gagal jadi menteri.
Hal ini sesuai dengan pendapat Moedjiono Sadikin bahwa:
Inilah politik Lempar Batu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menentukan susunan dan pos – pos di Kabinet beliau. Sebelum mencebur ke genangan air, dilemparnya batu untuk mengetahui kedalaman air itu. Proses uji kelayakan yang menjadi konsumsi empuk wartawan dan disiarkan secara luas, massif dan berulang mengalahkan infotainment para selebriti sejatinya upaya untuk mengukur riak – riak di masyarakat dan pihak – pihak lain yang sekiranya berkepentingan. Rupanya lemparan batu untuk hampir semua posisi menteri atau pejabat setingkat menteri menimbulkan riak – riak yang masih bisa diatasi atau ditahan oleh Presiden. Namun khusus untuk posisi menkes, kelihatannya ada riak yang tidak bisa dibendung oleh Presiden dan mungkin terpaksa beliau berkompromi dengan riak itu. Rasanya semua mengakui apalagi orang – orang dekat sekitar beliau, yang sering terdengar dari sifat Pak Susilo Bambang Yudhoyono adalah tipikal Jawa yang Njawani. Beliau terkenal sangat hati – hati, pandai menjaga perasaan orang lain, tutur katanya penuh sopan santun, dan pantang menyakiti hati orang lain”.[44]
Hal ini sependapat dengan (Eko Maulana Ali, 2013: 46) bahwa secara sederhana model kepemimpinan transaksional didefinisikan sebagai suatu transaksi, antara pemimpinan yang dianggap sebagai bos dan pengikut atau pembantunya. Hubungan kerja antara pemimpin dengan yang dipimpin didasarkan kepada suatu proses barter yang didahului dengan kesepakatan kerja yang saling menguntungan.[45]
Hal ini sesuai dengan pendapat Fristian Humalanggi, dkk,. (2014) bahwa:
“Dalam konteks Indonesia, koalisi dibentuk sebelum Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dengan tujuan untuk memenangkan calon yang diusung oleh koalisi tersebut. Tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan”.[46]
Selanjutnya Burns dalam Eko Maulana Ali (2013: 46) mengatakan bahwa:
“Tipikal kepemimpinan seperti ini sebagai kepemimpinan transaksional (Transactional Ledearship)” yang mnggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mencapai tujuan organisasi melalui upaya orang lain sebagai kaki tangannya.[47]
Jadi menurut Penulis bahwa kepemimpinan transaksional selalu didahuluai dengan kesepatakan atau kontrak politik guna saling menguntungan baik individu dan kelompok maupun organisasi. Dalam hal ini, adanya pembagian jabatan dengan maksud untuk saling mendukung dalam setiap kebijakan yang di tawarkan oleh pemimpin didasarkan pada kontrak politik yang sudah disepakati.
2)      Proses Seleksi Menteri Ala Joko Widodo
Berbeda dengan Joko Widodo, para calon menteri Kabinet Kerja diseleksi oleh Tim Transisi dan bekerja sama dengan pihak KPK untuk menelusuri rekam jejak para calon menterinya.
Selanjutnya Joko Widodo mengatakan bahwa para menteri yang duduk dalam kabinetnya seleksi secara ketat dan hati-hati melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam proses seleksi menteri Kabinet kerja dilakukan secara tertutup dibandingkan dengan kabinet indonsia bersatu Jilid I Susilo Bambang Yudhoyono yang mengundang media meliput proses seleksi mulai dari tahap awal sampai pada pengumuman nama-nama menterinya.
Proses seleksi secara tertutup ini mengundang kritikan dari kubu partai demokrat karena gaya penjaringan calon menteri Joko Widodo sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono, yang disampaikan Sekretaris Partai Demokrat.
Pro-kontra seleksi menteri dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dilakukan Presiden Joko Widodo semakin seru saja. Ada yang menyambut baik dan mengapresiasi langkah yang dilakukan Joko Widodo. Ada juga yang melihatnya sebagai langkah yang kurang tepat. Menurut mantan ketua KPK pertama Taifurahman Ruki dan pengamat hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, Joko Widodo sebetulnya tak perlu sampai meminta pertimbangan KPK dan PPATK. Seharusnya Joko Widodo memanfaatkan badan intelijen (BIN).[48]
Hal ini disebabkan karena dalam proses penentuan komposisi susunan kabinet, presiden memiliki hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan siapa saja yang menjadi menterinya, sebagaimana telah diatur dalam pasal 17 ayat (2) UUD 1945 bahwa: Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri ini sebagai pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden bukan kepada DPR atau MPR. Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah kepada MPR.
Walaupun dilanda tekanan internal maupun eksternal namun Joko Widodo masih tetap pada pendiriannya berusaha untuk membentuk kabinet profeional bukan kabinet politik dengan segala resiko yang harus dihadapi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Eko Maulana Ali, (2013: 46) salah satu tipikal kepemimpinan didasarkan pada bagaimana pemimpin memecahkan persoalan organisasi adalah Kepemimpinan Risiko (risk leadership), yaitu pemimpin yang berani mengambil resiko untuk melibatkan dan memberikan tanggung jawab yang besar kepada pengikutnya (bawahannya) guna melaksanakan kgiatan-kegiatan yang didesain oleh pemimpin, dengan maksud untuk menumbuhkan komitmen yang kuat dalam pencapaian tujuan organisasi.
5)   Perbandingan Strategi Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dalam Menghadapi Dinamika Politik di Internal Partai Pendukung 
1.    Strategi Susilo Bambang Yudhoyono Menghadapi Dinamika Politik di Internal Partai Pendukung
“Beda pemimpin beda gaya” hal inilah benar-benar tercermin ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo mempimpin Indonesia walaupun sama-sama pemimpin negara alias presiden namun strategi atau gaya mereka dalam menghadapi dinamika politik selalu berbeda. Hal ini terlihat jelas dalam proses penjaringan menteri yang akan duduk dalam kabinetnya, tekanan dari partai pengusung maupun partai pendukung untuk meminta jatah menteri. Tekanan politik dari orang-orang dekat maupun partai politik pendukung yang dihadapi Susilo Bambang Yudhoyono paska pilpres 2004 terlihat jelas dalam proses penjaringan menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB).
Jadi menurut hemat Penulis bahwa tekanan dari pihak internal partai pendukungnya maupun orang-orang dekatnya sendiri pada pilpres 2004 untuk meminta jatah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I.
Namun salah satu cara atau strategi dan/atau gaya Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghadapi tuntutan tersebut adalah proses penjaringan menterinya dilakukan secara transparan dan melalaui proses seleksi yang cukup ketat.
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi/gaya Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghadapi tuntutan atau tekanan dari para pendukungnya adalah gaya birokratis dimana semuanya harus berjalan sesuai aturan atau sesuai dengan prosedur.
Hal sesuai dengan pendapat Rudi Salam Sinulingga yang mengatakan bahwa gaya birokratis dapat dilukiskan dengan kalimat “memimpin berdasarkan peraturan”. Perilaku pemimpin ditandai dengan keketatan pelaksanaan prosedur yang berlaku bagi pemipin dan anak buahnya. Pemimpin yang birokratis pada umumnya membuat keputusan-keputusan berdasarkan aturan yang ada secara kaku tanpa adanya fleksibilitas. Semua kegiatan hampir terpusat pada pimpinan dan sedikit saja kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak, itupun tidak boleh lepas dari ketentuan yang ada.[49]

2.    Strategi Joko Widodo Menghadapi Dinamika Politik di Internal Partai Pendukung
Kelompok relawan ini berasal dari kalangan professional non-partai. Strategi/gaya Joko Widodo untuk menghadapi dinamika politik dalam proses penjaringan menteri cukup berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono dimana proses penjaringan menterinya dilakukan oleh Tim Transisi dengan melibatkan sejumlah lembaga untuk melakukan identifikasi terhadap rekam jejak para calon menteri yang akan duduk dalam kabinetnya. 
Sesuai dengan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu cara untuk menghindari intervensi atau tekanan-tekanan dari para pendukungnya maka Joko Widodo melibatkan Lembaga-lembaga Negara yang mempunyai pengaruh besar tidak bisa diintervensi sehingga susunan kabinet yang dihasilkan benar-benar professional.
Hal ini sesuai dengan pendapat Eko Maulana Ali (2013: 225) mengemukakan bahwa:
“pemimpin yang setiap saat dapat diajak berdiskusi, bertukar pikiran dan menerima saran dari bawahannya, dan sekaligus konsen kepada kehidupan pengikutnya. Dengan demikian pemimpin integratif mampu bersama-sama pengikutnya membangun visi organisasi yang dipimpinnya secara lebih terarah dan terstruktur, sehingga mudah dipahami untuk didalami menjadi visi bersama”.[50]
Perbedaan lain antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo adalah Susilo Bambang Yudhoyono murni didukung oleh Partai Politik sedangkan Joko Widodo didukung oleh Partai Politik dan kelompok relawan yang berasal dari masyarakat sipil yang pada umumnya berasal dari kalangan professional non partai. Kehadiran relawan dalam proses demokrasi telah membawa kebangkitan pergerakan dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang Arianto (2014) mengatakan bahwa kebangkitan gerakan sosial telah melahirkan tradisi voluntarisme dalam politik. Selain itu voluntarisme juga turut mentrasformasi nilai-nilai politis yang bernuansa patrimonial dan oligarkis menjadi voluntarisme dan partisipatoris. Relawan politik yang bergerak secara offl ine dan online dapat meningkatkan partisipasi publik. Artikel ini juga berpendapat bawah kehadiran relawan politik secara sangat positif berkontribusi terhadap pembangunan model demokrasi ekstra parlementer.[51]

6)   Jumlah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I dan Kabinet Kerja sebelum Reshulfe
Dalam penentuan komposisi kabinet antara Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I Susilo Bambang Yudhoyono dengan Kabinet Kerja Joko Widodo sebelum reshulfe terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya dimana jumlah menteri sebanyak 34 dan 2 pejabat setingkat menteri, sedangkan perbedaannya dalam penempatan jatah politisi dan kalangan professional non partai yaitu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I yang berasal dari Politisi/Usulan Parpol/Tim Sukses sebanyak 21 orang (55%), sedangkan dari kalangan professional non partai 15 orang (44,44%).  Sedangkan Kabinet Kerja yang berasal dari Politisi/Usulan Parpol/Tim Sukses sebanyak 15 orang (41,66 %),  sedangkan dari kalangan profesional non partai 21 orang (58,33 %).
Sesuai dengan data di atas, bahwa gaya kepemimpinan yang ditonjolkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dalam menentukan komposisi kabinet cukup berbeda karena pada dasarnya keduanya mempunyai latar belakang yang berbeda dimana Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang militer sedangkan Joko Widodo adalah sipil sehingga gaya kepemimpinan mereka dalam mengambil kebijakan berbeda pula.
Hal ini sesuai dengan pendapat Siagin dalam Eko Maulana Ali, (2013: 37) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan. Gaya kepmimpinan seorang pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan keperibadian yang unik khas hingga tingkah laku dan gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Sedangkan dalam kaitannya dengan sistem perintahan Indonesia, Fristian Humalanggi, dkk,. (2014) bahwa:
“Kombinasi antara sistem multipartai dan sistem pemilihan umum proportional representation yang diterapkan di Indonesia saat ini menyebabkan sulitnya memperoleh suara mayoritas di badan legislatif dan majority government. Hal ini mendorong pembentukan pemerintahan koalisi. Hal inilah yang menyebabkan tawar-menawar antar partai yang berkoalisi justru mengenai pembagian jabatan menteri dan jabatan lainnya tanpa disertai perumusan platform bersama, padahal menteri-menteri tersebut berasal dari partai politik yang berbeda dengan konstituen dan kepentingan yang berbeda pula. Hal inilah yang melemahkan hak prerogatif presiden dalam penyusunan kabinet. Profesionalisme yang semestinya menjadi dasar pengisian jabatan menteri dilemahkan oleh pengaruh kekuatan partai mitra koalisi. Keadaan ini berekses pada kinerja pemerintahan yang terbentuk. Selain itu, koalisi yang dibentuk tidak menjamin bahwa partai-partai yang tergabung dalam koalisi yang memiliki wakil di badan legislatif akan selalu mendukung program-program pemerintah. Padahal, salah satu tujuan dibentuknya koalisi agar presiden mendapat dukungan mayoritas badan legislatif untuk menghindari deadlock antara eksekutif dan legislatif serta immobilisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan”.[52]



7)   Orientasi Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dalam Menentukan Komposisi Kabinet
Perbedaan antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dalam penentuan komposisi kabinet   dalam hal pengambilan keputusan Susilo Bambang Yudhoyono “Fikirkan Dulu, Laksanakan Kemudian”, sebaliknya Joko Widodo “Laksanakan Dulu, Fikirkan Masalah Yang Timbul Kemudian”. Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar belakang militer ternyata tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat, keputusan-keputusan yang menurunkan citranya baru dibuat setelah didemo dan dihujat kiri kanan. Sebaliknya Joko Widodo dapat mengambil keputusan dengan sangat cepat (bisa dikatakan kelewat berani) yang kadang-kadang jadi bulan-bulannya lawan-lawan politiknya.[53]
Selanjutnya dalam hal pengambilan keputusan, Susilo Bambang Yudhoyono lebih memanjakan rakyat dengan janji-janjinya dan Joko Widodo berani ambil resiko dalam setiap keputusannya.
Sedangkan apabila ditinjau dari segi latar belakang, Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari kalangan militer sedangkan Joko Widodo adalah berlatar masyarakat sipil (civil society) yang berprofesi sebagai pengusaha. Latar belakang seseorang sangat dipengaruhi   “sosio cultural, religious, di mana tokoh itu dibesarkan, bagaimana proses pendidikan intelektualnya, watak orang yang ada disekitarnya dan lain sebagainya serta “sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide dari tokoh, serta pembentukan watak seseorang.
Pembawaan Susilo Bambang Yudhoyono, karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara karir, tampak agak formal. Kaum ibu tertarik kepada Susilo Bambang Yudhoyono karena ia santun dalam setiap penampilan dan apik pula berbusana. Penampilan semacam ini meningkatkan citra Susilo Bambang Yudhoyono di mata masyarakat. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dandalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas). Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.[54]
E.     PENUTUP
1.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin identik dengan sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan keperibadian yang unik khas hingga tingkah lakudaan gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Sedangkan dalam kaitannya dengan penentuan komposisi kabinet Penulis menyimpulkan bahwa:
1.    Tidak selamanya pemimpin berlatar belakang militer selalu tegas dalam mengambil keputusan dan pemimpin berlatar belakang sipil tidak tegas dalam mengambil keputusan karena gaya kepemimpinan seorang pemimpin identik dengan sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan keperibadian yang unik khas hingga tingkah laku dan gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain.
2.    Kedudukan Susilo Bambang Yudhoyono dalam Partai Demokrat adalah tokoh pendiri partai demokrat, sedangkan kedudukan Joko Widodo dalam tubuh PDI Perjuangan hanyalah sebagai kader biasa bukan pimpinan partai, beliau hanyalah masyarakat biasa yang berprofesi sebagai pengusaha.
3.    Ketidakmampuan Susilo Bambang Yudhoyono dalam mengontrol partai koalisinya diparlemen juga disebabkan karena tidak adanya visi bersama di antara partai yang berkoalisi sehingga kepentingan atau aspirasi dari partai lain tidak terakomodir dalam pemerintahannya. Namun yang terjadi semua partai yang berkoalisi hanya memperjuangkan visi Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Sementara kepemimpinan Joko Widodo tidak hanya terjadi koalisi pemerintahan namun pihak yang kalah pun membentuk partai koalisi yang dinamakan dengan Koalisi Merah Putih (KMP) dengan kekuatan yang berbeda-beda dan kekuatan di DPR di dominasi oleh KMP, sedangkan KIH sebagai pendukung pemerintah memiliki jumlah minoritas.
4.     Susilo Bambang Yudhoyono hanya mendapat tekanan dari pihak internal partai pendukungnya pada pilpres 2004 dalam hal meminta jatah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I. sedangkan Joko Widodo walaupun mendapat berbagai tekanan baik dari pihak internal maupun eksternal, namun Joko Widodo berusaha yakni ingin membentuk kabinet profesional, bukan ''Kabinet Politik''.
5.    Mekanisme yang diterapkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo berbeda-beda. karena kedua tokoh ini berbeda latar belakang Susilo Bambang Yudhoyono berlatar belakang militer, Joko Widodo dari sipil.  Tentu saja hal ini berbeda dengan pilihan menteri era Joko Widodo. Mulai dari gaya penjaringan hingga pelantikan  jelas terlihat perbedaan kental menteri pilihan di era Susilo Bambang Yudhoyono dan era Joko Widodo
6.    Susilo Bambang Yudhoyono murni didukung oleh Partai Politik sedangkan Joko Widodo didukung oleh Partai Politik dan kelompok relawan yang berasal dari masyarakat sipil yang pada umumnya berasal dari kalangan professional non partai. Kehadiran relawan dalam proses demokrasi telah membawa kebangkitan pergerakan dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
7.    Gaya kepemimpinan yang ditonjolkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dalam menentukan komposisi kabinet cukup berbeda karena pada dasarnya keduanya mempunyai latar belakang yang berbeda dimana Susilo Bambang Yudhoyono adalah seorang militer sedangkan Joko Widodo adalah sipil sehingga gaya kepemimpinan mereka dalam mengambil kebijakan berbeda pula.
8.    Dalam hal pengambilan keputusan Susilo Bambang Yudhoyono “Fikirkan Dulu, Laksanakan Kemudian”, sebaliknya Joko Widodo “Laksanakan Dulu, Fikirkan Masalah Yang Timbul Kemudian”. Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar belakang militer ternyata tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat, keputusan-keputusan yang menurunkan citranya baru dibuat setelah didemo dan dihujat kiri kanan. Sebaliknya Joko Widodo dapat mengambil keputusan dengan sangat cepat (bisa dikatakan kelewat berani) yang kadang-kadang jadi bulan-bulannya lawan-lawan politiknya.
9.    Dalam penentuan komposisi kabinet antara Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I Susilo Bambang Yudhoyono dengan Kabinet Kerja Joko Widodo sebelum reshulfe terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya dimana jumlah menteri sebanyak 34 dan 2 pejabat setingkat menteri, sedangkan perbedaannya dalam penempatan jatah politisi dan kalangan professional non partai yaitu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I yang berasal dari Politisi/Usulan Parpol/Tim Sukses sebanyak 21 orang (55%),  sedangkan dari kalangan professional non partai 15 orang (44,44%).  Sedangkan Kabinet Kerja yang berasal dari Politisi/Usulan Parpol/Tim Sukses sebanyak 15 orang (41,66 %), sedangkan dari kalangan profesional non partai 21 orang (58,33 %).

2.    Saran
Sesuai dengan hasil kesimpulan di atas, penulis menyarankan bahwa “Beda pemimpin beda gaya” hal inilah benar-benar tercermin ketika Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo mempimpin Indonesia walaupun sama-sama pemimpin negara alias presiden namun gaya yang diterapkan berbeda-berbeda. Dua-duanya punya kewenangan untuk mengatur lembaga dan institusi yang dibawahinya. Dalam konteks upaya mencapai tujuan, model, dan gaya kepemimpinan yang satu bisa lebih efektif dan efisien dalam kasus tertentu.
Sedangkan dalam kaitannya dengan penentuan komposisi kabinet sebagai seorang pemimpin harus mampu mengontrol partai koalisinya diparlemen dan juga harus mampu menyusun visi misi bersama sehingga kepentingan semua kelompok terakomodir dalam visi mis tersebut.  selain itu sebagai seorang pemimpin dalam hal ini presiden harus mampu mengatasi tekanan yang terjadi sehingga kabinet yang disusunnya adalah kabinet yang professional dan harus tegas dalam hal pengambilan keputusan dan tidak boleh ragu-ragu sehingga keputuan yang diambil benar-benar bermanfaat bagi rakyat. 


















DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing.
Faisal, S. 2007. Format-Format Penulisan Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kaelan, H. 2012. Metode Penulisan Kualitatif Interdisipliner Bidang: Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Nasution, S. 2007. Metode Research (Penulisan Ilmiah). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Nasir, Mohammad. 2005. Metode Penulisan. Penerbit Ghalia Indonesia.

Suyanto, I. 2014. Pemimpin Berkaki Rakyat “Membangun Parpol Berbasis Kader”. Yogyakarta: Galang Pustaka

Internet
Adad Danuarta. 2014. Gaya Kepemimpinan Merurut Para Ahli. http:// adaddanuarta.blogspot. co. id/2014/11/gaya-kepemimpinan-merurut-para-ahli.html
Arief Muchtarom. 2010. Kepmimpinan. http://ariefmuchtarom. blogspot. co.id /2010/01/ kepemimpinan. html diakses tanggal 13 Maret 2017.
Berita.suaramerdeka.com. Antara Perfeksionis dan Koboi http://berita. suaramerdeka. Com /smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/ diakses tanggal 13 maret 2017
blogspot.co.id. 2008. Pemilu 2004. http://klikpolitik.blogspot.co. id/2008 /04/ pemilu-2004.html diakses pada tggl 19 November 2016
blogspot.com. Sistem Pemerintahan Indonesia. http://sistempemerintahan-indonesia. blogspot. com/ diakses 2 Februari 2017.
Fristian Humalanggi, dkk,. 2014. Analisis Konsep Koalisi Dalam Sistem Presidensil. http://rajawaligarudapancasila. blogspot.co.id/2014/03/analisis -konsep-koalisi-dalam-sistem_9735.html diakses tanggal 20 Desember 2016.
Faturkrachman. 2016. Makalah Perbedaan di Bidang Politik. http:// faturkrachman. blogspot. co. id/2016/12/makalah-perbedaan-di-bidang-politik.html diakses tanggal 13 maret 2017.
http://digilib.unila.ac.id/9251/3/BAB%20II.pdf diakses tanggal 13 maret 2017
https://id-id.facebook.com/ga Susilo Bambang Yudhoyono2/posts/670594279623698 diakses tanggal 13 maret 2017.
Juanda Wijaya. 2006. Menimbang Kepemimpinan Sipil dan Militer. http://juanda-wijaya. blogspot.co.id/2006/05/menimbang-kepemimpinan-sipil-dan.html diakses tanggal 13 Maret 2017.

Juan Dinash. 2013. Sistem Pemerintahan Indonesia. Diakses pada tanggal 2 Februari 2017. http://sistempemerintahan-indonesia. blogspot.co.id /2013/03/sistem-pemerintahan-indonesia.html

Kompas.com. Wasiat Kumbakarna Seleksi Menteri Joko Widodo Seharusnya Tugas BIN Bukan KPK http://www. kompasiana.com /wasiat_ kumbakarna /seleksi-menteri-Joko Widodo-seharusnya-tugasi-bin-bukan-kpk_ 54f950a 8a3 33110 a068b4b8b. diakses tanggal 13 maret 2017.

---------------------. 2016. Pengamat Joko Widodo Berani Ambil Resiko Susilo Bambang Yudhoyono Lebih Suka Manjakan Rakyat. http://nasional.kompas.com/read /2016/03/ 21/ 2117 4301/Pengamat.Joko Widodo.Berani.Ambil.Resiko. Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih. Suka. Manjakan. Rakyat  diakses tanggal 13 maret 2017
Mindtalk.com. Bedanya Kabinet Kerja Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono. https:// www. mindtalk. com/ channel /coffeebreak/ post/bedanya-kabinet-kerja-Joko Widodo-dan- Susilo Bambang Yudhoyono-529525400846471365.html diakses tanggal 13 maret 2017.
Maturbongs, E. 2010. Kabinet Presidensil dan Parlementer. Diakses pada tanggal 1 Februari 2017.https://ematurbongs.blogspot.co.id/2010/04/kabinet-presidensil-dan-parlementer.html
Mujiono Sadikin. Politik Lempar Batu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. https://moedjionosadikin. wordpress.Com/2009/10/23/politik-lempar-batu-presiden- Susilo Bambang Yudhoyono%e2%80% a6/ diakses tanggal 23 Maret 2017.
Rahayu, Srikandi. 2014. Seputar Pengertian Kabinet Pemerintahan. diakses pada tanggal 1 Februari 2017 http://seputarpengertian. blogspot.co.id /2014 /09/seputar-pengertian-kabinet-pemerintahan.html
Rajawali Garuda Pancasila. blogspot.co.id 2014. Analisis Konsep Koalisi Dalam Sistem. http:// rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id/2014/03/analisis-konsep-koalisi-dalam-sistem_9735.html diakses tanggal 20 Desember 2016.

Suara Merdeka.com. Antara Perfeksionis dan Koboi. http:// berita. suaramerdeka. com /smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/ diakses tanggal 13 maret 2017.
Umi Mar’atun dan Heri Rohayuningsih. 2011. Sistem Pemerintahan Negera Republik Indonesia. Jurnal Forum Ilmu Sosial, Vol. 38 No. 1 Juni 2011. Diakses pada tanggal 2 Februari 2017.Terdapat teorinya Arend Lijpharft.
Viliarissa. 2014. Analisis Sistem Pemerintahan dan Gaya. http:// viliarissa. blogspot.co.id /2014 /01/ analisis -sistem-pemerintahan-dan-gaya.html diakses tanggal 13 Maret 2017.
Wahib Ramadhan. Pemerintahan Sipil Milliter. http://wahib-ramadhan. blogspot. co. id / p / pemerintahan-sipil-milliter.html diakses tanggal 13 maret 2017.
www.coursehero.com. Pembawaan Susilo Bambang Yudhoyono Karena Dibesarkan Dalam Lingkungan Tentara dan ia Juga Berlatar. https:// www. coursehero. com/file/ p1sjt2v/ Pembawaan- SUSILO BAMBANG YUDHOYONO-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/ diakses tanggal 13 maret 2017.
www.rmol.co. 2014. Bias Makna Blusukan. http://www.rmol.co/ read /2014/ 11/11/179420/Bias-Makna-Blusukan. diakses tanggal 13 Maret 2017.

Perperaturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945








BIODATA PENULIS


Agustinus Taena, dilahirkan di Kabupaten Timor Tengah Utara tepatnya di Desa Amol Kecamatan Miomaffo Timur pada tanggal 18 Agustus 1984. Anak ketiga dari lima bersaudara pasangan dari Bapak Mikhael Taena dan Mama Paulina Binsasi. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar di SDN Amol di Kecamatan Miomaffo Timur Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun pada  tahun 2000. Pada tahun itu juga penulis  melanjutkan Pendidikan di SMP Negeri 1 Miomaffo Timur Kecamatan Miomaffo Timur dan tamat pada tahun 2003 kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri Taekas di Kecamatan Miomaffo Timur pada tahun 2003 dan seslesai pada tahun 2006. Pada tahun 2008 penulis mengikuti Kursus Desain Grafis/Percetakan di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD) Cibinong Jawa Barat kemudian Pada tahun 2010 peneliti melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, tepatnya di Universitas Timor (UNIMOR) Fakultas Pertanian Program Studi Agribis sampai 2011 kemudian pada tahun 2013 melanjutkan kembali kuliah di Universitas Timor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) pada Program Studi Ilmu Pemerintahan selesai pada tahun 2017. Penulis terlibat secara aktif di Oragnisasi Intra maupun ekstra kampus di Organisasi Intra Kampus pernah menjabat Sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Timor periode 2015-2016, sementara di organisasi Ektra Kampus penulis adalah anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kefamenanu. Dengan ketekunan, motivasi tinggi untuk terus belajar dan berusaha, penulis telah berhasil menyelesaikan pengerjaan tugas akhir skripsi ini.



[1]http://juanda-wijaya.blogspot.co.id/2006/05/menimbang-kepemimpinan-sipil-dan.html diakses tanggal 13 maret 2017
[2] http://digilib.unila.ac.id/9251/3/BAB%20II.pdf diakses tanggal 13 maret 2017
[3] http://wahib-ramadhan.blogspot.co.id/p/pemerintahan-sipil-milliter.html diakses tanggal 13 maret 2017
[4]https://www.mindtalk.com/channel/coffeebreak/post/bedanya-kabinet-kerja-jokowi-dan-sby-5295254 008 46471365.html diakses tanggal 13 maret 2017

[6] http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/ diakses tanggal 13 maret 2017
[7] https://id-id.facebook.com/gasby2/posts/670594279623698 diakses tanggal 13 maret 2017
[8]https://www.coursehero.com/file/p1sjt2v/Pembawaan-SBY-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/ diakses tanggal 13 maret 2017.
[9]http://www.rmol.co/read/2014/11/11/179420/Bias-Makna-Blusukan diakses tanggal 13 maret 2017
[10]https://www.coursehero.com/file/p1sjt2v/Pembawaan-SBY-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/ diakses tanggal 13 maret 2017
[11]http://faturkrachman.blogspot.co.id/2016/12/makalah-perbedaan-di-bidang-politik.html diakses tanggal 13 maret 2017
[12]Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing


[15] http://adaddanuarta.blogspot.co.id/2014/11/gaya-kepemimpinan-merurut-para-ahli.html diakses tanggal 14 Maret 2017
[16] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing






[23] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing













[45] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing.

[48] http://www.kompasiana.com/wasiat_kumbakarna/seleksi-menteri-jokowi-seharusnya-tugasi-bin-bukan-kpk_54f950a8a333110a068b4b8b diakses tanggal 13 maret 2017
[49] Ibid http://www.kompasiana.com/rudisalamsinulingga/gaya-gaya-kepemimpinan_54f79ceca33311df1d8b4583 diakses tanggal 14 Maret 2017
[50] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[51]http://download.portalgaruda.org/article.php?article=370708&val=7018&title=Fenomena%20Relawan%20Politik%20dalam%20Kontestasi%20Presidensial%202014 diakses tanggal 6 April 2017

[54] https://www.coursehero.com/file/p1sjt2v/Pembawaan-SBY-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/ diakses tanggal 13 maret 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL PENELITIAN "ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SBY DENGAN JOKOWI DALAM PENYUSUNAN KABINET"