PROPOSAL PENELITIAN "ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SBY DENGAN JOKOWI DALAM PENYUSUNAN KABINET"
ANALISIS
PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SBY DENGAN JOKOWI DALAM PENYUSUNAN KABINET
PROPOSAL
PENELITIAN
Diajukan Sebagai Salah Satu Prasyarat Untuk Meraih
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Dengan Spesifikasi Ilmu Pemerintahan
Oleh
AGUSTINUS
TAENA
21
13 0065
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TIMOR
KEFAMENANU
2017
PERSETUJUAN
Judul
|
:
|
ANALISIS
PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SBY DENGAN JOKOWI DALAM PENYUSUNAN KABINET (STUDI KEPUSTAKAAN)
|
Nama
NPM
Semester
Program Studi
Telah disahkan pada tanggal
|
:
:
:
:
:
|
Agustinus
Taena
21 13 0065
VIII
Ilmu Pemerintahan
1
Maret 2017
|
Dosen Pembimbing Utama
Dian Festianto, S.Ip, MA
|
Dosen Pembimbing Pendamping
Yakobus Kolne, S.Ip, M.Si
|
Mengetahui
Ketua
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Medan Yonathan Mael, S.Ip, M.Si
NIP.19740512 200501 1001
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan pertolongan-Nya
penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini dengan baik. Proposal
Penelitian ini disusun dengan judul: “Analisis
Perbandingan Gaya Kepemimpinan SBY Dengan Jokowi Dalam Penyusunan Kabinet
(Studi Kepustakaan)”.
Penulis menyadari bahwa
dalam menyelesaikan pendidikan di Universitas Timor sampai dengan saat
penyusunan Proposal Penelitian ini tidak terlepas dari campur tangan Tuhan dan
teristimewa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
patutlah penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima
kasih yang iklas kepada:
1.
Bapak Bernadus Seran Kehik, S.Ip, MA
sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
2.
Bapak Medan Y. Mael, S.Ip., M.Si sebagai
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan.
3.
Bapak Dian Festianto S.Ip., MA, sebagai
dosen Pembimbing Utama, yang dengan sabar dan tulus, memberikan koreksi,
masukan dalam penyempurnaan Proposal Penelitian ini.
4.
Bapak Yakobus Kolne, S.Ip, M.Si sebagai
dosen pembimbing pendamping yang dengan sabar dan tulus, memberikan koreksi,
masukan dalam penyempurnaan Proposal Penelitian ini.
5.
Keluargaku tercinta atas dukungan doa
dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini tanpa ada
hambatan.
6.
Rekan-rekan se-angkatan khususnya
rekan-rekan se-program studi Ilmu Pemerintahan secara langsung atau tidak telah
memberikan bantuan berupa sharing informasi dan pengalaman dalam menimba ilmu
di Unimor Kefamenanu.
Akhirnya terima kasih
untukmu semua, dan bila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam Proposal
Penelitian ini, maka segala kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
demi penyempurnaan, dapat penulis terima dengan senang hati.
Kefamenanu, Maret 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
JUDUL.......................................................................................................... i
PERSETUJUAN.......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................ iii
DAFTAR ISI................................................................................................ v
DAFTAR TABEL....................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar
Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan
Masalah ............................................................................. 11
1.3 Tujuan
Penelitian ............................................................................... 12
1.4 Manfaat
Penelitian ............................................................................ 12
1.4.1 Manfaat
Teoritis ....................................................................... 12
1.4.2 Manfaat
Praktis ........................................................................ 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................... 13
2.1 Gaya
Kepemimpinan ......................................................................... 13
2.1.1 Pengertian
Gaya Kepemimpinan .............................................. 13
2.1.2 Macam-Macam
Gaya Kepemimpinan....................................... 15
2.1.3 Indikator
Gaya Kepemimpinan................................................. 23
2.2 Kabinet
.............................................................................................. 25
2.2.1 Macam-Macam
Kabinet ........................................................... 26
2.3 Sistem
Pemerintahan Indonesia ........................................................ 28
2.3.1 Pokok
– Pokok Sistem Pemerintahan ...................................... 29
2.3.2 Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Presidensil ........................ 32
2.4 Kerangka
Pikir ................................................................................... 34
BAB III METODE PENELITIAN............................................................ 36
3.1 Jenis
Penelitian .................................................................................. 36
3.2 Lokasi
Penelitian ............................................................................... 37
3.3 Desain
Penelitian ............................................................................... 38
3.3.1
Definisi Konsepsional ........................................................... 39
3.3.2
Definisi Operasional .............................................................. 40
3.4 Instrumen
Penelitian .......................................................................... 40
3.5 Teknik
Pengumpulan Data ................................................................ 41
3.5.1 Membaca
.................................................................................. 42
3.5.2 Mengutip
Informasi ................................................................. 42
3.6 Sumber
Data ...................................................................................... 43
3.7 Tahap-Tahap
Analisis Data ............................................................... 44
3.7.1 Analisis
Pada Waktu Pengumpulan Data ................................ 44
3.7.2 Analisis
Setelah Pengumpulan Data ........................................ 45
3.8 Objek
Penelitian ................................................................................ 46
3.9 Metode
Analisis Data ........................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 50
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) Jilid I Sebelum
Reshulfe
......................................................................................... 12
Tabel 2. Jumlah Menteri Kabinet Kerja Sebelum Reshulfe .......................... 12
Tabel 3. Sistem Pemerintahan yang Pernah
Diterapkan di Indonesia .......... 26
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Rekapitulasi Perolehan
Suara Nasional Pemilu 2004 dan
Jumlah Perolehan Kursi Parpol di DPR RI.
Lampiran 2. Hasil
Rekapitulasi Perolehan Suara Nasional Pemilu 2014 Dan Jumlah Perolehan
Kursi Parpol di DPR RI
Lampiran 3. Fraksi-fraksi dan Jumlah Anggota di DPR Periode 2004-2009
Lampiran 4. Fraksi-fraksi dan Jumlah Anggota di DPR Periode 2014-2019
Lampiran 5. Daftar Partai Pendukung, Oposisi
dan Partai Netral Pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (sebelum resulfhe)
Lampiran 6. Daftar Partai
Pendukung, Oposisi dan Partai Poros Tengah (Abstein) Pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo
(sebelum Resulfhe)
Lampiran 7. Jumlah Menteri dan Pejabat Setingkat
Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I
(Sebelum Reshulfe)
Lampiran
8. Susunan Menteri Kabinet Kerja (Sebelum
Resulfhe)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak kemerdekaan negara Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah dipimpin oleh tujuh orang presiden.
Dari ketujuh presiden tersebut memiliki sejarah dan latar belakang yang
berbeda-beda yakni “politisi murni, militer, ulama dan pengusaha”, sehingga
gaya kepemimpinan masing-masing presiden berbeda-beda. Gaya kepemimpinan seorang
presiden akan sangat berpengaruh dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Selama lebih dari 32 tahun negeri ini telah dirasuki gaya kepemimpinan
berlatar belakang militer sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia masih
beranggapan bahwa pemimpinan yang berlatar belakang militer yang akan lebih
pantas untuk memimpin Indonesia. Oleh karena itu, kepemimpinan militer
dijadikan prioritas utama dan ditempatkan pada level nasional menyadari bahwa pemimpin
yang baik adalah pemimpin yang mampu mengendalikan dan mengatasi krisis,
maka diperlukan integritas dan kepekaan (sense
of crisis) dalam rangka mengambil keputusan yang arif, cepat dan tepat. Dalam kepemimpinan militer dari sejak zaman Soeharto masyarakat
aman tidak ada mengeluh baik dari segi ekonomi maupun lainnya sampai sekarang
termasuk berhasil, bahwa kepemimpinan militer terkenal dengan kedisiplinan,
baik dari segi sikap maupun dari ketegasannya. Sedangkan pemimpin berlatar
belakang sipil diragukan kedepannya, karena
begitu kuatnya kepemimpinan berlatar belakang militer dibalik kebijakan dan
keputusan yang diambil pemerintah yang berkuasa dan atas dasar pertimbangan
stabilitas dan kemampuan menangani cepat tanpa kegaduhan.
Menurut Arief Moctarom
(2010) kepemimpinan adalah “Leadership is
the ability to influence a group toward the achievement of goals”, yang
berarti bahwa pemimpin memiliki kemampuan untuk mempengaruhi suatu group kearah
suatu tujuan yang ingin dicapai. Dalam kepemimpinan Sipil tidak seperti militer
yang telah didoktrin pada saat pembentukan, sedangkan sipil tidak melaui fase
itu, sehingga mereka kurang patuh, loyal dan disiplin dibanding militer.
Perlunya seni yang baik untuk memimpin di kalangan sipil.[1]
Lebih lanjut Juanda Wijaya (2006) mengatakan bahwa kepemimpinan sipil: (1) tidak tegas, (2) tidak memiliki
kewibawaan dalam menentukan langkah-langkah strategis di bidang pemerintahan
dan (3) Tidak mampu bertahan dalam tekanan. Sedangkan kepemimpinan militer (1) tegas,
berwibawa dan memiliki akses langsung di bidang pertahanan keamanan; (2) Mampu
mengambil langkah – langkah strategis di saat krisis; dan (3) Mementingkan
martabat negara daripada menjalin hubungan diplomatis dengan negara lain.[2]
Secara harfiah
militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang yang
bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari tantangan untuk
menghadapi musuh, sedangkan ciri-ciri militer sendiri mempunyai organisasi
teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi, mentaati hukum yang berlaku
dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak dimiliki atau dipenuhi, maka itu
bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan bersenjata (Faisal Salam, 2006;
13).[3]
Sedangkan Wahab Ramadhan
mengatakan bahwa pemimpin dari kalangan militer lebih mengutamakan
kecepatan pengambilan keputusan, keputusan diambil oleh pucuk pimpinan
tertinggi, sedangkan yang lainnya mengikuti keputusan itu sebagai perintah
yang wajib diikuti konsekuensi rantai komando dalam militer. Pemimpin sipil
selalu menggunakan gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya,
sedangkan pemimpin berlatar belakang militer selalu mengandalkan gaya militer
yang sarat dengan disiplin dan kental dengan ketentaraman.[4]
Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo
sama-sama pemimpin negara alias presiden. Dua-duanya punya kewenangan untuk
mengatur lembaga dan institusi yang dibawahinya. Namun ada perbedaan mencolok
terkait gaya kepemimpinan keduanya. Susilo Bambang Yudhoyono cenderung
mengandalkan kemampuan bawahannya, mendorong mereka agar bekerja secara
maksimal. Sementara Joko Widodo tipe pejuang (fighter) yang langsung turun ke lapangan menyelesaikan persoalan.
Namun sebelum terjun ke lapangan, yang biasanya ditemani bawahannya, ia
memegang data ihwal persoalan daerah yang dikunjunginya.
Namun lain pemimpin berarti lain juga gaya kepemimpinannya.
Itulah yang bisa kita lihat dari gaya presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika
menyusun dan memilih para menteri untuk masuk ke dalam kabinet yang diberikan
nama ‘Kabinet Indonsia Bersatu (KIB) Jilid I.[5]
Tentu saja hal ini berbeda dengan pilihan menteri era Joko
Widodo. Mulai dari gaya pelantikan hingga pemilihan, jelas terlihat perbedaan
kental menteri pilihan di era Susilo Bambang Yudhoyono dan era Joko
Widodo.[6]
Hal lain yang kontras dari keduanya, Susilo Bambang
Yudhoyono berlatar belakang militer, Joko Widodo dari sipil. Untuk meraih kursi
presiden, Susilo Bambang Yudhoyono harus mendirikan partai sendiri berbekal
popularitas yang melonjak karena citra dizalimi oleh rezim incumbent, sedangkan Joko Widodo berkat
kebijakannya yang populis di level bawah, dipromosikan oleh partai yang
memiliki memiliki basis massa kuat. Yang paling membedakan adalah gaya keduanya
dalam memimpin. Susilo Bambang Yudhoyono berkarakter perfeksionis, ingin selalu
menjaga penampilan, baik dalam berbusana dan bertutur-kata. Saking hati-hati,
presiden yang satu ini kerap dikritik lambat dalam mengambil keputusan. Adapun Joko
Widodo cenderung mengalir, apa adanya, spontan, bergaya koboi. Ibarat kata,
“pukul dulu, urusan belakangan”. Perfeksionisme
Susilo Bambang Yudhoyono juga tercermin dalam penyusunan kabinet.
Sebelum memastikan orang-orang yang akan duduk di kabinetnya, Susilo Bambang
Yudhoyono memanggil satu per satu calon menteri ke kediamannya di Cikeas, Bogor
untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Sebuah mimbar lengkap dengan
standing mike serta ruang tunggu bagi wartawan peliput disiapkan. Lalu, sebelum
calon menteri dilantik, dilakukan penandatanganan kontrak politik. Joko Widodo,
meskipun dalam proses penjaringan mempercayakan kepada tim ahli yang disebut
sebagai Tim Transisi, calon menteri terpilih hanya diundang ke Istana untuk
diajak bertukar pikiran mengenai bidang yang akan dipercayakan kepada mereka.[7]
Perbedaan antara
Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dalam penentuan komposisi
kabinet antara lain sebagai berikut: Era
Susilo Bambang Yudhoyono (1) Orang-orang partai pendukung yang menjadi
menterinya; (2) Penempatan Menteri tidak sesuai dengan bidang masing-masing
kandidat; (3) Menterinya banyak sekali yang di bully contohnya saja, Roy Suryo
yang salah menyanyikan lirik lagu Indonesia raya, dan juga Tifatul sembiring;
(4) Ada Menteri yang terlibat aksi pemerasan, Jero Wacik; (5) Salah satu
Menteri yang dipilih untuk duduk di Departemen Agama Islam ternyata melakukan
korupsi dana haji, yaitu Surya Dharma Ali; dan (6) Perombakan kabinet yang
sangat tidak signifikan[8].
Sedangkan Era Joko Widodo: (1) Profil
sejumlah Kabinet Joko Widodo-JK sangat mendukung, karena dihiasi
direktur BUMN, akademisi, dan profesional dipilih untuk posisi-posisi
tertentu; (2) Bidang ekonomi ditempatkan menteri-menteri yang cukup bagus,
contohnya Sofyan Djalil pernah menjabat menteri BUMN periode Susilo Bambang Yudhoyono, lalu Kemenkeu
Bambang Brodjonegoro sebelumnya diposisi WaMenKeu; (3) Joko Widodo
melibatkan KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dalam menyeleksi para menterinya. Sesuatu yang baru yang patut
dipertahankan; (4) Sejumlah figur yang semula sempat masuk bursa calon menteri,
akhirnya terpental gara-gara ditandai stabilo merah KPK; (5) Memberikan
cukup banyak kepercayaan kepada perempuan (8 orang) untuk menangani sejumlah
departemen; (6) Presiden Joko Widodo memacu anggota kabinetnya untuk bekerja…bekerja…dan bekerja. (7) Banyak
pengusaha dan orang berlatar belakang biasa dengan pendidikan rendah juga
diangkat menjadi Menteri.[9]
Sementara
dalam hubungan dengan partai politik, Partai Susilo Bambang Yudhoyono
(Demokrat) diperlakukan sebagai penyambung lidahnya, sebaliknya Joko Widodo
diperlakukan partainya (PDIP) sebagai penyambung lidah partai. Susilo Bambang
Yudhoyono sering menggunakan waktu kerjanya untuk membicarakan partainya,
sebaliknya Joko Widodo tidak mau membicarakan partainya di waktu kerjanya
tetapi sering berkampanye atau mendukung kampanye di hari liburnya.[10]
Sedangkan dalam
hal pengambilan keputusan Susilo Bambang
Yudhoyono “Fikirkan Dulu, Laksanakan
Kemudian”, sebaliknya Joko Widodo “Laksanakan
Dulu, Fikirkan Masalah Yang Timbul Kemudian”. Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar
belakang militer ternyata tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat,
keputusan-keputusan yang menurunkan citranya baru dibuat setelah didemo dan
dihujat kiri kanan. Sebaliknya Joko Widodo dapat mengambil keputusan dengan
sangat cepat (bisa dikatakan kelewat berani) yang kadang-kadang jadi
bulan-bulannya lawan-lawan politiknya.[11]
Selanjutnya dalam hal pengambilan keputusan, Susilo Bambang Yudhoyono lebih
memanjakan rakyat dengan janji-janjinya dan Joko Widodo berani ambil resiko
dalam setiap keputusannya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yuniarto
bahwa:
“Joko Widodo Berani Ambil Risiko, Susilo
Bambang Yudhoyono Lebih Suka Manjakan Rakyat”. "Apa
yang dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono itu memanjakan masyarakat. Dia
mengambil keputusan untuk berada di zona nyaman," sedangkan Joko Widodo
Presiden Joko Widodo selama ini memang tidak populer dan berisiko terhadap
citra dirinya di mata masyarakat.[12]
Apabila
ditinjau dari segi latar belakang, Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari
kalangan militer sedangkan Joko Widodo adalah berlatar masyarakat sipil (civil society) yang berprofesi sebagai
pengusaha. Latar belakang seseorang sangat dipengaruhi “sosio
cultural, religious, di mana tokoh itu dibesarkan, bagaimana proses
pendidikan intelektualnya, watak orang yang ada disekitarnya dan lain
sebagainya serta “sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun
pengaruh pemikiran dan ide dari tokoh, serta pembentukan watak seseorang.
Pembawaan Susilo Bambang Yudhoyono, karena
dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara
karir, tampak agak formal. Kaum ibu tertarik kepada Susilo Bambang Yudhoyono
karena ia santun dalam setiap penampilan dan apik pula berbusana. Penampilan
semacam ini meningkatkan citra Susilo Bambang Yudhoyono di mata masyarakat.
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan
kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan
sementara kalangan yang menyebut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai figur peragu,
lambat, dan tidak "decisive"
(tegas). Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu
defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia
dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.[13]
Sedangkan Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo
disimboli dengan sebuah penyebutan nama kabinet yang tak biasa, yaitu Kabinet
Kerja, sebuah pilihan kata yang sederhana namun menunjukkan komitmen kuat
pemerintah dalam melayani rakyat dan bersungguh-sungguh melakukan perubahan.
Seolah juga, Kabinet Kerja merupakan antitesis dari Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak hanya
pilihan nama kabinet yang beda, melainkan juga penampilan fisik para pejabatnya
juga berbeda. Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para menterinya kerap
mengenakan pakaian kemeja tenun serta safari lengan pendek, maka Presiden Joko
Widodo dan para menteri tampil dengan kemeja putih dengan tangan panjang
terlipat dan baju dikeluarkan. Pakaian kemeja demikian tidak identik dengan
pakaian pejabat, melainkan pakaian pekerja biasa jauh dari kesan mewah. Spirit
itu yang tampaknya ingin diperkuat oleh Presiden Joko Widodo yang notabene
sudah mempunyai citra kuat sebagai pelaku blusukan. Persepsi Joko Widodo
sebagai pejabat negara yang gemar turun ke masyarakat tempak hendak ditularkan
kepada Kabinet Kerja melaui penampilan simbol-simbol nama kabinet dan pilihan
pakaian para menteri. Spirit kerja dan blusukan ditampilkan oleh pemerintahan Joko
Widodo melalui penyusunan agenda kerja di bulan pertama.[14]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini menciptakan
tradisi baru pelantikan para menteri yang tergabung dalam Kabinet Kerja
2014-2019, yaitu dengan menggunakan baju batik. Bahkan sebelumnya saat
pengumuman nama-nama menteri, Joko Widodo mengharuskan para pembantunya memakai
baju dan celana putih di halaman Istana Negara, Jakarta. Tradisi ini baru
pertama kali dalam sejarah pelantikan kabinet dari zaman Presiden Soeharto
hingga Susilo Bambang Yudhoyono, yang umumnya menggunakan stelan jas rapi. Tidaklah
mengherankan dengan gaya kepemimpinan Joko Widodo yang khas itu.[15]
Pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak terjadi perpecahan koalisi
kepartaian di parlemen. Walaupun Susilo Bambang Yudhoyono adalah Ketua Partai
Demokrat, namun mampu mengawasi semua partai yang berkoalisi dalam
pemerintahanya di parlemen. Sedangkan pada awal masa pemerintahan Presiden Joko
Widodo, terbentuk dua kubu koalisi di Indonesia, yaitu Koalisi Merah Putih
(KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sedangkan Aspek politik selama 100
hari pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berjalan kondusif dan tidak
terjadi kegaduhan apapun. Sementara itu pada 100 hari pertama pemerintahan Joko
Widodo terjadi kegaduhan politik, seperti terbelahnya parlemen dan perpecahan
partai. Namun pada akhirnya Joko Widodo berhasil mempertahankan terjalinnya
komunikasi politik dengan parlemen, bahkan ada kecenderungan
positif KMP mulai mengurangi tekanan-tekanan politiknya seiring dengan
misi pemerintahan Joko Widodo-JK untuk menyejahterakan masyarakat berjalan pada
rel yang benar dan dinilai baik oleh KMP.[16]
Dalam
konteks koalisi di parlemen Susilo Bambang Yudhoyono tidak hanya meragkul partai
pendukungnya pada awal Pilpres namun Susilo Bambang Yudhoyono melibatkan hampir
semua fraksi DPR terdiri dari 7 fraksi (Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai
Demokrat, F-PPP, F-PAN, F-PKB, F-PKS, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi) dengan
jumlah 414 kursi, dengan maksud untuk memuluskan kebijakan-kebijakannya namun tetap
Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu mengawasi partai-partai tersebut. Sedangkan
partai oposisi hanya PDI Perjuangan dengan jumlah 109 kursi dan dua partai
lainnya yaitu PDS 13 kursi dan PBR 14 kursi justru memilih untuk tidak masuk
dalam partai koalisi maupun partai oposisi.
Sementara Joko Widodo tetap pada
koalisi awal sejak Pilpres yaitu yang dikenal dengan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) Joko Widodo – Jk terdiri dari PDI Perjuangan, PKB, Partai NASDEM, Partai
Hanura dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dengan jumlah kursi di DPR
berjumlah 246 kursi di DPR sedangkan partai oposisi terdiri dari Partai
GERINDRA, PAN, PKS, Partai Golkar 253 kursi.
Dalam proses
penentuan komposisi susunan kabinet, presiden memiliki hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan siapa saja yang
menjadi menterinya, sebagaimana telah diatur dalam pasal 17 ayat (2) UUD 1945
bahwa: Menteri-menteri
itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri ini sebagai
pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden bukan kepada DPR atau MPR.
Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah kepada MPR.
Dalam sistem
presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogratif presiden. Namun, teori
dan praktik sering kali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar
pada hak prerogratif, namun juga tergantung pada kompromi dan akomodasi
politik. Justru masalah kompromi inilah yang lebih dominan mewarnai penyusunan
kabinet. Dominasi tersebut semakin terang-benderang apabila sistem presidensial
berdiri di atas sistem multi partai. Dalam kondisi demikian, sering terjadi
presiden terpilih tidak menguasai mayoritas suara di parlemen. Hadirlah presiden
minoritas, lahirlah pemerintahan terbelah yaitu pemerintahan yang agenda
politik eksekutifnya berseberangan jalan dengan mayoritas aspirasi politik di
legislatif.
Seperti
dikemukakan Scott Mainwaring dalam M. Yasin al-Arif (2015), pemerintahan
presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit
dan dilematis. Hal itu terjadi jika presiden terpilih tak berasal dari partai
politik yang memperoleh kekuatan mayoritas di lembaga legislatif. Untuk
mendapat dukungan di lembaga legislatif, presiden berupaya membentuk
pemerintahan koalisi dengan merangkul sejumlah partai politik. Cara paling umum
yang dilakukan presiden: membagikan posisi menteri kabinet kepada partai
politik yang memberikan dukungan kepada presiden.
Berdasarkan
uraian di atas, maka Penulis terdorong untuk melakukan Penulisan dengan judul “ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO DENGAN JOKO WIDODO DALAM PENYUSUNAN KABINET”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam Penulisan adalah: “bagaimana gaya
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam menentukan
kabinet kerjanya?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dalam Penulisan ini adalah untuk mengetahui
gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam menentukan
kabinet kerjanya.
1.4 Manfaat Peneltian
1.4.1
Manfaat
Akademis
Penulisan ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Timor maupun universitas lain yang melakukan Penulisan
lebih lanjut.
1.4.2
Manfaat
Praktis
1.
Penulisan diharapkan dapat memberikan kontribusi
kepada presiden-presiden RI yang akan datang.
2.
Sebagai bahan informasi untuk masyarakat Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
2.1 Teori Kepemimpinan
2.1.1
Konsep
dan Pengertian Kepmimpinan
Kepemimpinan
adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan upaya untuk menciptakan cara agar
rakyat dapat berkontribusi dalam pencapaian sesuatu hasil yang lebih baik. (Alan Keit,
Lucas Digitasl)
Kepemimpinan
merupakan salah satu fenomena yang paling mudah di
observasi tetapi
menjadi salah satu hal yang paling sulit dipahami. (RichardL.
Draft, 1999)
Dua kutipan di
atas, dapat dimaknai kepemimpinan merupakan suatu masalah yang sulit karena ia sangat
kompleks, terkait sifat dasar kepemimpinan itu sendiri mamang sangat rumit dan
kompleks (Eko Maulana Ali, 2013: 15).[17]
Selanjutnya
James M. Black dalam bukunya Management,
A Guide to Executive Command menyatakan: Leadership is capability of persuading others to work together under
their direction as a team to accomplish certain designed objectives (kepemimpinan
adalah kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya
sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan tertentu) (James
M. Black dalam Eko Maulana Ali, 2013:
15).[18]
Lebih lanjut
menurut Sarros dan Butchatsky (1996), leadership
as the purposeful behavior of influencing others to contributed to a commonly
agreed goal for the benefit of individuals as well as the organization of
common good. Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan
sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para
anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan
manfaat individu dan organisasi, (Sarros dan Butchatsky dalam Eko Maulana Ali, 2013: 15).[19]
Jadi menurut
hemat Penulis, kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang
lain dan siap bekerja sama dalam sebuah tim yang demi mencapai tujuan pemimpin
maupun tujuan sebuah organisasi.
Sedangkan
menurut Eko Maulana Ali (2013: 16) mengatakan bahwa:
“Pemimpinan
sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan pembimbing, pengurus,
penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya”.[20]
Jadi pada
dasarnya istilah pemimpin, kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin. Tetapi
ketiga kata ini digunakan dalam konteks yang berbeda tergantung situasi dan
kondisi dan istilah kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan keterampilan (skill), kecakapan, dan tingkat pengaruh
seorang pemimpin (Eko Maulana Ali, 2013: 15).[21]
Selanjutnya Eko
Maulana Ali, (2013: 23) mengatakan bahwa: dalam mempelajari masalah yang
berkaitan dengan teori kepemimpinan, para pakar umunya menggunakan
variabel-variabel kunci yang terdiri dari tiga karakteristik utama, yaitu (1)
karakteristik pemimpin, karakteristik pengikut dan karakteristik situasi.
Sedangkan untuk melakukan Penulisan teoritis dan empiris tentang kepemimpinan,
dapat dapat dilakukan melalui 5 pendekatan, yaitu:
1)
Traits Aproach (pendekatan
karakter ataau sifat): pendekatan ini menekankan pada karakter pemimpin seperti
alasan (motif) kepribadian (personality)
nilai (value), dan keahlian (skill).
2)
Behavior Aproach
(pendekatan
perilaku): lebih menekankan pada bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan
konflik kepentingan dalam kelompok atau organisasinya, memperhatikan kehendak
kelompok atau organisasi, memanfaatkan kesempatan dan mengatasi
kekurangan-kekurangan.
3)
Powe influence
Approach (pendekatan
pengaruh kekuatan): lebih menekankan pada peran sentral pemimpin dalam
menggunakan wewenangnya untuk mempengaruhi pengikutnya.
4)
Situational
Approach (pendekatan
bergantung pada situasi): lebih menekankan pada faktor-faktor kontkstual yang
mempengaruhi proses kepemimpinan. Variabel utamanya adalah karakteristik
pengikut, kondisi pekerjaan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin unit, tipe
organisasi, dan kondisi lingkungan eksternal.
5)
Integrative
Approach, teori
ini memadukan sejumlah teori yang ada, diantaranya: teori pembawaan (traits), perilaku (behavior) dan kontijensi. Melalui pendekatan integratif ini, model
kepemimpinan ini berusaha menjelaskan kesuksesan dan pengaruh hubungan antara
pemimpin dan pengikut.[22]
2.1.2
Pendekatan
dan Perspektif Teori Kepemimpinan
Menurut Eko
Maulana Ali, (2013: 33) kepemimpinan dapat dikaji dari tiga sudut pandang,
yakni: (1) pendekatan sifat (traits
approach); (2) pendekatan gaya (style
approach): dan (3) pendekatan kontijensi (contingency approach).[23]
Penggolongan
tersebut tidak lepas dari dinamika atau perkembangan dan sejarah teori
kepemimpinan, tidak berarti teori yang disebut terakhir adalah sebuah
pendekatan yang lebih maju, apalagi jika dianggap lebih tepat dibandingkan
dengan pendekatan yang disebut sebelumnya masing-masing pendekatan itu hingga
kini masih dipakai sebagai acuan teoritis dan relevan digunakan sebagai titik
tolak dalam melihat model atau karakteristik kepemimpinan yang diterapkan oleh
seorang atau beberapa pemimpinan dalam sebuah organisasi, (Eko Maulana Ali,
2013: 33).[24]
Jadi dari teori
dan pendekatan-pendekatan di atas, maka yang digunakan Penulis dalam tulisan
ini adalah Pendekatan Gaya (Style
Approach).
2.1.3
Model
dan Gaya Kepemimpinan
Perilaku
pemimpinan sering disebut juga gaya kepemimpinan (Style of Leadership) dengan demikian, gaya kepemimpinan sangat
besar pengaruhnya terhadap keberhasilan seseorang pemimpinan dalam mempengaruhi
perilaku bawahannya dalam pencapaian tujuan yang diinginkan, (Eko Maulana Ali,
2013: 36).
Lebih lanjutnya
menurut Eko Maulana Ali, (2013: 36) mengatakan bahwa istilah gaya secara
sederhana adalah sama dengan cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi
bawahan atau pengikutnya. Sedangkan menurut Toha dalam Eko Maulana Ali, 2013: 36) mengatakan bahwa:
“Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan
oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang
lain”.[25]
Setiap pemimpin
bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Di antara gaya kepemimpinan yang diterapkan tidak otomatis berarti gaya
kepemimpinan yang satu dengan yang satu lebih baik atau lebih jelek dari pada
gaya kepemimpinan yang lainnya. Dalam konteks upaya mencapai tujuan, model, dan
gaya kepemimpinan yang satu bisa lebih efektif dan efisien dalam kasus tertentu,
(Eko Maulana Ali, 2013: 37).
Selanjutnya
Siagin dalam Eko Maulana Ali, (2013:
37) mengatakan bahwa:
“gaya
kepemimpinan seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang yang
bersangkutan. Gaya kepmimpinan seorang pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan,
temperamen, watak, dan keperibadian yang unik khas hingga tingkah lakudaan gaya
yang membedakan dirinya dengan orang lain”.
Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan Kartini
Kartono (2008: 34) menyatakan sebagai berikut:[26]
1.
Sifat
Sifat seorang
pemimpin sangat berpengaruh dalam gaya kepemimpinan untuk menentukan keberhasilannya
menjadi seorang pemimpin yang berhasil, serta ditentukan oleh kemampuan pribadi
pemimpin. Kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan
berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya.
2.
Kebiasaan
Kebiasaan memegang peranan
utama dalam gaya kepemimpinan sebagai penentu pergerakan perilaku seorang
pemimpin yang
menggambarkan segala tindakan yang dilakukan sebagai pemimpin baik.
3.
Tempramen
Temperamen
adalah gaya perilaku seorang pemimpin dan cara khasnya dalam memberi tanggapan
dalam berinteraksi dengan orang lain. Beberapa pemimpin bertemperamen aktif,
sedangkan yang lainnya tenang. Deskripsi ini menunjukkan adanya variasi
temperamen.
4.
Watak
Watak seorang
pemimpin yang lebih subjektif dapat menjadi penentu bagi keunggulan seorang
pemimpin dalam mempengaruhi keyakinan (determination),
ketekunan (persistence), daya tahan (endurance), keberanian (courage).
5.
Kepribadian
Kepribadian
seorang pemimpin menentukan keberhasilannya yang ditentukan oleh sifat-sifat /
karakteristik keperibadian yang dimilikinya.
Selanjutnya
menurut Rivai (2012) dalam Eko
Maulana Ali (2013: 38) ada tiga macam gaya kepemimpinan yang mempengaruhi
bawahan agar sasaran organisasi tercapai, yaitu:[27]
1) Gaya kepemipinan otoriter
Gaya kepemimpinan ini menggunakan metode
pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya,
sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi.
2) Gaya kepemimpinan demokratis
Gaya kepemimpinan ini ditandai oleh
adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan
keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung
bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat
mengarahkan diri sendiri.
3) Gaya kepmimpinan bebas kendali
(Laizes Faire)
Gaya kepemimpinan ini memberikan
kekuasaan penuh pada bawahan, struktur organisasi bersifat longgar; pemimpin
bersifat pasif. Peran utama pemimpin adalah penyediaan materi pendukung dan
berpartisipasi jika diminta bawahaan.
Selanjutnya
Eko Maulana Ali (2013: 43) mengatakan bahwa tipikal kepemimpinan dapat juga
diklasifikasikan sesuai dengan pendekatan karakter dan perilaku pemimpin,
sebagai berikut:[28]
1) Kepemimpinan
Viosioner
Dengan membawa perasaan atau emosi
masyarakat atau bawahannya ke arah mimpi – mimpi terhadap masa depan organisasi
yang ia pimpin, pemimpin visioner memiliki pengaruh yang sangat positif sekali
(most strongly positive) dalam
lingkungan atau pekerjaannya.
2) Kepemimpinan
Pelatihan dan Pembimbingan
Seorang pemimpin tipikal pelatihan dan
pembimbingan (Training and coaching),
membangun resonansi dengan memberikan pelatihan dan bimbingan kepada yang
dipimpin agar dapat bekerja secara efektif dan efisien.
3) Kepemimpinan
Afiliatif
Seorang pemimpin tipikal afiliatif (affiliative) membangunan resonansi
(penguatan) dengan cara menciptakan hubungan yang harmonis dan menyatu dengan
masyarakat atau bawahan.
4) Kepemimpinan
Demokratis
Seorang pemimpin dengan tipikal
demokratis, membangun resonansi (penguatan) dengan cara memberikan kebebasan
kepada masyarakat atau bawahannya aatau audien untuk mengemukakan kehendaknya
dan tujuan yang hendak dicapai secara bebas.
5) Kepemimpinan
komando
Kepemimpinan tipikal komando membangun
resonansi dengan suatu perintah yang tegas dan jelas tanpa diberikan kesempatan
kepada yang dipimpin untuk berpikir analitis.
6) Kepemimpinan
Pacesetting
Seorang pemimpin penentu kecepatan (pacesetting), memimpin pengikutnya untuk
mengikuti aturan-aturan, kemampuan yang ada dan melaksanakan upaya – upaya
pencapain tujuan yang telah disepakati atau yang telah ditetapkan. Seperti
seorang pemimpin di tataran teknis suatu birokrasi, memimpin bawahannya untuk
melaksanakan tugas – tugas yang telah ditentukan, dan lain sebagainya.
Dari
tipikal-tipikal kepemimpinan di atas, tipikal kepemimpinan yang paling baik
sangat tergantung kepada konteks, situasi dan kondisi.
Selanjutnya
menurut Eko Maulana Ali, (2013: 46) Ia membagi tipikal kepemimpinan didasarkan
pada bagaimana pemimpin memecahkan persoalan organisasi, yaitu:
1)
Kepemimpinan
yang terfokus (focused leadership),
segala kegiatan yang ditujukan untuk menarik perhatian para pengikut, pada
isu-isu penting.
2)
Kepemimpinan
yang komunikatif (communication
leadership), yaitu dengan menggunakan kemampuan komunikasi secara efektif,
termasuk secara aktif mendengarkan saran dari pengikut (bawahan) sebagai umpan
balik untuk mendapatkan gagasan-gagasan yang konstruktif.
3)
Kepemimpinan
yang dipercayai (trust leadership)
perilaku pemimpin yang dapat menumbuhkan kepercayaan, dan konsiten dalam tindak
tanduknya serta menepati janji. Terbangunnya kepercayaan dapat disebabkan oleh
dua hal: (a) konsisten dalam sikap dan perilaku; (b) kredibilitas, yaitu
kepercayaan yang dibangun berdasarkan suatu sikap one do what one says one ill do.
4)
Kepemimpinan
yang dihormati (respectful leadership),
yaitu keegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang
memperlihatkan perhatian dan kasih saying kepada yang dipimpin, seperti
memberikan penghargaan atas prestasi yang ddicapai oleh pengikutnya.
5)
Kepemimpinan
Risiko (risk leadership), yaitu
pemimpin yang berani mengambil resiko untuk melibatkan dan memberikan tanggung
jawab yang besar kepada pengikutnya (bawahannya) guna melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang didesain oleh pemimpin, dengan maksud untuk menumbuhkan komitmen yang kuat
dalam pencapaian tujuan organisasi.[29]
2.2 Model Kepemimpinan Transaksional
2.2.1
Kepemimpinan
Transaksional: Things Done Right
Secara sederhana model kepemimpinan transaksional
didefinisikan sebagai suatu transaksi, antara pemimpinan yang dianggap sebagai
bos dan pengikut atau pembantunya. Hubungan kerja antara pemimpin dengan yang
dipimpin didasarkan kepada suatu proses barter yang didahului dengan
kesepakatan kerja yang saling menguntungan (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[30]
Selanjutnya Burns dalam Eko Maulana Ali (2013: 46) mengatakan bahwa:
“Tipikal
kepemimpinan seperti ini sebagai kepemimpinan transaksional (Transactional Ledearship)” yang menggunakan
kekuasaan dan pengaruhnya untuk mencapai tujuan organisasi melalui upaya orang
lain sebagai kaki tangannya. [31]
Jadi menurut Penulis bahwa kepemimpinan
transaksional selalu didahuluai dengan kesepatakan atau kontrak politik guna
saling menguntungan baik individu dan kelompok maupun organisasi. Dalam hal
ini, adanya pembagian jabatan dengan maksud untuk saling mendukung dalam setiap
kebijakan yang di tawarkan oleh pemimpin didasarkan pada kontrak politik yang
sudah disepakati.
Pendekatan manajemen yang efektif seperti ini, yang
meletakan pemikiran Things done right (segala
sesuatu dikerjakan dengan benar), tetapi tidak selalu menjamin tercapainya the right get done (segala sesuatu yang
benar dikerjakan). Para pendukung diharapkan untuk saling mendukung dalam
setiap kebijakan yang ditawarkan oleh pemimpin sehingga adanya Things done right (segala sesuatu
dikerjakan dengan benar), tetapi tidak selalu menjamin tercapainya the right get done (segala sesuatu yang
benar dikerjakan) (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[32]
2.2.2
Kepemimpinan
Transaksional: Sering Disalahmengerti
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang memiliki
heterogenitas sosial, budaya ekonomi yang tinggi model kepemimpinan
transaksional dianggap lebih tepat untuk diterapkan dalam dunia perpolitikan
ditanah air. Pada suatu kasus tertentu masih saja ditemui bahwa model
kepemimpinan transaksional jauh lebih efektif dalam upaya mencapai tujuan
organisasi pemerintahan. Model ini masih dirasakan sebagai sesuatu tepat
dibandingkan model kepimimpinan transformasional yang dianggap lebih kompatibel
dengan sistem sosial politik demikratis ternyata tidak semua berhasil
dilaksanakan dengan mulus (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[33]
Model kepemimpinan transaksional cenderung
dipersepsi ‘negatif’ terutama jika dikaitkan dengan sejumlah kasus negatif yang
muncul ketika sebuah kebijakan publik diambil berdasarkan pertimbangan
transaksional atau jual beli. Lagi pula sampai sekarang pada kenyataanya masih
banyak diterapkan model kepemipinan transaksional dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan, bahkan dalam beberapa kasus model kepemimpinan transaksional
didasari pada logika untung-rugi, prinsip memberi dan menerima, saling
mendukung dalam setiap momen pesta demokrasi baik Pilkada maupun Pemilihan
Presiden masih diwarnai dengan dukung mendukung dan terjadilah saling berbagi
jabatan (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[34]
2.2.3
Konsep
dan Pengertian Kepemimpinan Transaksional
Menurut Eko Maulana Ali (2013: 55) kepemimpinan
transaksional merupakan salah satu gaya kepemimpinna yang intinya menekankan
transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Selanjutnya Burns dalam Eko Maulana Ali (2013: 55)
mengemukakan bahwa:
“Kepemimpinan transaksional
dicirikan dengan perancangan tujuan-tujuan tugas, penyediaan sumber daya untuk
mencapai tujuaan – tujuan tersbut, dan penghargaan terhadap kinerja”.[35]
Jadi pada dasarnya kepemimpinan transaksional
merupakan suatu serangkan tawar menawar
diantara kedua pihak atau lebih dalam hal ini Gibson, Ivancevich, dan Donelly
(2000) dalam Eko Maulana Ali, (2013:
55) menambahkan, bahwa kepemimpinan transaksional akan menyesuaikan berbagai
tujuan, arah, dan misi dengan alasan praktis.[36]
Alasan ini mendorong Pawar dan Eastraman (1997)
untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan
jabatan atau tugas jika bawahannya mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik.,
Pawar dan Eastraman dalam Eko Maulana
Ali, (2013: 55).[37]
Jadi menurut hemat Penulis kepemimpinan
transaksional adalah gaya kepemimpinan didasari dengan tawar-menawar jabatan apabila
siap untuk bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan yang hendaknya dicapai.
Sedangkan
menurut Ibnu Subianto (2014: 41) mengatakan bahwa:
“sifat transaksional yang sering terjadi
dalam berbagai pemilihan umum di negeri ini telah menjadikan rakyat dan para
pemimpin punya pemahaman yang kata ajaib demokrasi. Konsekuensi pendekatan
transaksional dalam pemilihan umum baik legislatif / eksekutif akan merusak
sendi-sendi kehidupan sistem demokrasi itu sendiri yang pada akhirnya akan
merusak tata kelola negara”.[38]
Selanjutnya
Ibnu Subianto (2014: 41) mengatakan bahwa:
“Transaksi
politik akan mendorong siapa saja untuk melakukan tindakan tak terpuji oleh tim
pemenang maupun yang dikalahkan. Bagi si pemenang akan mencari dana illegal
untuk menutup seluruh anggaran kemenangan memperoleh jabatan publik.
“Ibaratnya, jabatan publik bagaikan barang dagangan ataupun asset yang dapat
dikapitalisasi menjadi sebuah sumber keuangan. Sebaliknya bagi yang kalah akan
berusaha mencari dana dengan cara apapun, yang apabila kalah akan melakukan
tindakan untuk menggerogoti kekuasaan sang pemenang”. Dendam kesumat atas
kekalahan akan tetap membara, dan akan menjadi pemicu tindakan – tindakan tak
terpuji berikutnya”.[39]
Lebih
lanjut Ibnu Subianto (2014: 41) meengatakan bahwa:
“Dalam
pengambilan keputusan pun lagi amanah rakyat, tetapi pesanan kepentingan yang
diikuti dengan transaksi kepentingan. Kekuasaan rakyat dianggap tidak ada
kaitannya dengan apapun yang diputuskan oleh sang pemimpin. Para pemimpin
transaksional menganggap, kewajiban dirinya pada pemilih sudah ditunaikan
menjelang pemungutan suara, sehingga apa yang diputuskan terkait dengan
rakyatnya, apalagi kekuasaan rakyat”.[40]
Hal inilah yang
kemudian membuat roda peemerintahan berjalan kurang efektif karena sang
pemimpin telah dibaluti dengan kepentingan orang-orang yang mengitarinya dari
rakyatnya yang menantikan kebijakan-kebijakan dari sang pemimpin.
2.3 Model Kepemimpinan Transformasional
Pemimpin dengan
karakter transfomatif memang sangat jarang ada di negeri, mereka adalah figur
yang secara intelektual bisa memahami konsep-konsep demokrasi dengan utuh yang
secara sadar menjadikannya basis kepemimpinan. Pemimpin transformatif bukan
muncul tiba-tiba, atau dikampanyekan secara massif dimana-mana agar
“dicitrakan” sebagai pemimpin yang baik dan kuat, tetapi karena ia punya
sejarah panjang sebagai pemimpin yang mengerti dan memahami dirinya sebagai
pemimpin, (Ibnu Suyanto, 2014: 43).[41]
2.4.1
Kepemimpinan
Transfomsional
Teori – teori
tentang kepemimpinan transformasional banyak dipengaruhi oleh pandangan James
McGregor (1978) dalam Eko Maulana
Ali, (2013: 95) bahwa:
“pemimpin transfomasional memunculkan
nilai-nilai moral pengikutnya dalam upaya untuk meningkatkan keyakinannya
tentang isu-isu etika dan memobilisasi energy sumber daya mereka guna
mereformasi suatu institusi”.[42]
Eko Maulana Ali, (2013: 95)
mengatakan bahwa:
“Berbeda dengan kepemimpinan
transaksional (Transactional Leadership)
yang memotivasi pengikutnya dengan mengetengahkan keinginan pribadi (self interest). Sebagai contoh
pemimpinan pemimpin politik menawarkan lapangan kerja/jabatan publik, subsidi,
dan bantuan-bantuan dan insentif adalah bagian dari kepemimpinan transaksional.
Sedangkan kepemimpinan transformasional juga menawarkan nilai-nilai yang
relevan untuk mengubah proses seperti kejujuran (honesty), keterbukaan (openness),
tanggung jawab (responsibility) dan
timbal balik (reciprocity)”.[43]
Selanjutnya
menurut Bass dalam Eko Maulana Ali,
(2013: 96) mengatakan bahwa:
“kepemimpinan transfomassional dan
kepemimpinan transaksional adalah berbeda, tetapi dapat diterapkan secara
bersama-sama. Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif
baru dalam studi-studi kepemimpinan. Model ini dianggap model terbaik dalam
menjelaskan karakteristik pemimpin”.[44]
Pada prispinya,
menurut Gibson, Ivancevich dan Donnelly dalam
Eko Maulana Ali, (2013: 104) mengatakan bahwa:
“kepemimpinan transfomasional - jika
dibandingkan dengan model kepemimpinan transaksional – membuat
perubahan-perubahan besar pada: misi unit kerja atau organisasi atau unit
kerja, cara-cara menjalankan kegiatan, dan manajemen sumber daya manusia untuk
mencapai misi yang telah ditetapkan”.[45]
Selanjutnya
menurut Bass dalam Eko Maulana Ali,
(2013: 104) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah:
“tipe pemimpin yang menginspirasi para
pengikutnya untuk menyampingkan kepentingan pribadi mereka dan memiliki
kemampuan mempengaruhi yang luar biasa”. Aspek utama kepemimpinan
transformational adalah penekanan pada pembangunan pengikut”.[46]
2.4.2
Definisi
Kepemimpinan Transformasional
Istilah
transfomasi secara etimologis berasal dari kata to transform yang bermakna mengubah sesuatu meenjadi bentuk lain yang
berbeda. Ketika kedua kata ini digabungkan makna yang terkandung menjadi lebih
luas daripada gabungan makna keduanya secara matematis.
Menurut Keller
dalam dalam Eko Maulana Ali (2013:
106) mengemukakan bahwa:
“gaya kepemimpinan transfomasional
adalah sebuah gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemenuhan terhadap tingkatan
tertinggi dari hierarki Maslow yakni kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi
diri”.[47]
Sementara
menurut Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para
bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka demi
kepentingan organisasi yang lebih besar.[48]
Sedangkan
Yammarino dan Bass (1990) dalam Eko
Maulana Ali (2013: 107) juga menyatakan bahwa:
“pemimpin transformasional
mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi
bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh perhatian pada perbedaan –
perbdaan yang dimiliki bawahan”.[49]
Jadi dari
beberapa definisi di atas, Penulis menyimpulkan bahwa kepemimpinan
transformasional memberikan wewenang sepenuhnya kepada bawahan untuk membuat
kebijakan/keputusan atau memberikan kesempatan sepenuhnya kepada bawahan untuk
mengaktualisasikan diri.
2.4.3
Model
dan Karakteristik Kepemimpinan Transformasional
Menurut Eko
Maulana Ali (2013: 109) mengatakan bahwa: konsep kepemimpinan transformasional
ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait),
gaya (styll) dan kontijensi.[50]
Sedangkan Bass dalam Eko Maulana Ali (2013: 109)
mengindikasikan ada tiga ciri-ciri kepemimpinan transformasional yaitu:
“kharismatik, stimulasi intelektual dan
perhatian secara individual mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri
kepemimpinan transformasional. Dan Perhatian
pemimpin transformatif juga terkait dengan perbaikan kualitas moralitas dan
motivasi dari bawahan yang dipimpinnya”.[51]
Sementara itu
Gary Yulk dalam Leadership in
Organization (1990), yang dikutip oleh Eko Maulana Ali (2013: 109-110),
menyatakan bahwa karakter dari kepemimpinan transformasional antara lain
sebagai berikut:
1.
Fokus
kepemimpinan transformatif pertama-tama terarah pada kepentingannya. Disini
animo utama dari pemimpin adalah perbaikan kondisi bawahan.
2.
Pemimpin
transformatif berupaya untuk memberikan perhatian pada nilai-nilai etis.
Artinya perhatian pemimpin transformatif juga terkait dengan perbaikan
moralitas dan motivasi dari bawahan yang dipimpinnya. Dengan kata lain,
pemimpin transformasional menyuarakan cita-cita dan nilai-nilai moral seperti
kemerdekaan, keadilan, tanggung jawab, sosial lewat empati.
3.
Pemimpin
transfomasi tidak menggurui, melainkan mengaktifkan para pengikut untuk
melakukan inovasi-inovasi untuk bangkit dari keterpurukannya. Jadi pemimpin
bukan penentu segalanya, melainkan pendamping dan partner bagi bawahannya.
4.
Kepemimpinan
transformatif mengandung muatan stimulasi intelektual.
5.
Kepempinan transformatif menghidupkan dialog
dalam strata sosial komuniksi politik sehat. Dialog ini mengandaikan adanya
keterbukaan dan visi yang jelas dari seorang pemimpin.[52]
2.4.4
Kepemimpinan
Transformasional Sebuah Kontinum
Apabila manajer
transaksional hanya membuat penyesuain – penyusuaian kecil pada misi, struktur
dan manajemen sumber daya manusia, maka pemimpim transformasional tidak sekedar
membongkar ketiga bidang ini namun juga mendorong perubahan besar-besar pada
sistem organisasi. Pembongkaran sistem inilah yang benar-benar membedakan
pemimpin transformasional dengan transaksional. (Trichy dan
Ulrich)[53]
Dari kutipan di
atas, menurut Eko Maulana Ali (2013: 114) mengatakan bahwa:
“bukan hanya menunjukkan perbedaan
antara model kepemimpinan transaksional, dengan model kepemimpinan
transfomasional, ”tetapi lebih dari itu kedua model kepemimpinan itu dalam
berbagai kajian sering dipertentangkan atau diperhadapkan seolah keduanya
adalah model yang bertentangan secara diametral. Padahal secara teoritik dan
konsepsional keduanya memiliki sejumlah ikatan yang membuatnya tidak terputus,
memiliki ‘jembatan’ yang saling menghubungkan dan memiliki latar dan tujuan dan
kepentingan yang sama.[54]
Jadi kedua model
kepemimpinan ini mengandung sebuah unsur kepemimpinan yang baik dan telah
teruji kelayakannya secara teoritik dan telah pula diimplemntasikan dalam
berbagai kontek dan dalam kurun waktu tertentu.
2.5
Model
Kepemimpinan Kharismatik
2.5.1
Definisi
Kepemimpinan Kharismatik
Max Weber (1947)
dalam Eko Maulana Ali (2013: 79)
menggunakan istilah kharisma dalam menjelaskan bentuk dari suatu persepsi
terhadap bawahan yang menjelaskan bahwa:
“pemimpin diberkahi oleh suatu kemampuan
lebih”. Kharisma adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti berkat yang
terinspirasi secara agung atau dengan bahasa lain yakni anugerah (grace). Kharisma adalah kemampuan yang
luar biasa dan mistis.[55]
Selanjutnya
menurut Eko Maulana Ali (2013: 80) mengatakan bahwa kharisma adalah:
“daya tarik seseorang yang tidak bisa
dibeli dengan uang. Ia adalah energy yang tidak nampak akan tetapi efek atau
pengaruhnya nyata, khususnya terhadap pengikut dan bawahan. Kharisma merupakan
kekuatan yang tidak bisa dijelaskan secara logika”.[56]
Lebih lanjut
Truskie (2002) dalam Eko Maulana Ali
(2013: 80) mengatakan bahwa:
“kharisma dianggap sebagai kombinasi
dari pesona dan daya tarik pribadi yang berkontribusi terhadap kemampuan luar
biasa untuk membuat orang lain mendukung visi dan juga mempromosikannya dengan
bersemangat”.[57]
Sedangkan
menurut Ivancevich, dkk, (2007: 209) dalam
Eko Maulana Ali (2013: 80) pemimpin kharismatik adalah:
“pemimpin yang mewujudkan atmosfir
motivasi atas dasar komitmen dan identitas emosional pada visi, filosofi, dan
gaya mereka dalam diri bawahannya. Ia mengelompokkannya dalam dua tipe yaitu
kharismatik visioner dan kharismatik di masa krisis”.[58]
Menurut
Eko Maulana Ali (2013: 80) mengatakan bahwa:
“pemimpin kharismatik visioner
mengekspressikan visi bersama mengenai masa depan, sedangkan pemimpin
kharismatik di masa krisis menunjukkan pengaruhnya ketika sistem menghadapi
situasi dimana pengetahuan informasi, dan prosedur yang tidak mencukupi”.[59]
Pengertian ini
sejalan dengan pandangan Max Weber (1947) dalam
Eko Maulana Ali (2013: 81) bahwa:
“kharisma terjadi saat terdapat sebuah
krisis sosial dimana seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang
menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu. Bagi para pengikut mempercayai bahwa
pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa yang membuat visi itu terlihat dapat
dicapai”.[60]
2.5.2
Model
dan Karakteristik Pemimpinan Kharismatik
Jika mengacu
pada sejumlah definisi yang telah dikemukakan para ahli manajemen dan organisasi
maka sangat dekat dengan model kepemimpinan transfomasional, karena hanya
“kepemimpinan kharismatik sangat dekat dengan kepemimpinan transformasional
karena hanya pemimpin yang memiliki kharisma besar yang bisa melakukan
transformasi atau perubahan yang tergolong besar, berskala luas dan substantif
sifatnya” Eko Maulana Ali (2013: 81).[61]
Robins (1994) dalam Eko Maulana Ali (2013: 82)
menguraikan karakteristik utama dari pemimpin kharismatik sebagai berikut:
1)
Percaya
diri, benar-benar pecaya akan kemampuan yang dimilikinya.
2)
Satu
visi, merupakan tujuan ideal yang mengajukan masa depan yang lebih baik.
3)
Kemampuan
mengungkapkan visi dengan gamblang.
4)
Keyakinan
yang kuat mengenai visi tersebut.
5)
Perilaku
yang diluar aturan.
6)
Dipahami
sebagai seorang agen perubahan/perubahan yang radikal.
7)
Kepekaan
lingkungan, mampu membuat penilaian yang realistis.[62]
2.5.3
Pemimpin
Kharismatik Dilahirkan atau Dibentuk?
Sejarah mencatat
bahwa sejumlah pemimpin besar dan kharismatik muncul dalam suasana krisis yang
menuntut terjadinya perubahan besar. Pemimpin
kharismatik yang muncul dalam suasana krisis atau arus gelombang perubahan yang
besar adalah pemimpin yang dilahirkan, tetapi jika kelahirannya melalui proses
dan muncul dalam suasana biasa saja, maka artinya pemimpin kharismatik bisa
dibentuk, Eko Maulana Ali (2013: 84).[63]
2.6
Model
Kepemimpinan Integratif: Proses, Praktik dan Dampaknya
2.6.1
Kepemimpinan
Integratif yang Visioner
Menurut Eko
Maulana Ali (2013: 225) mengemukakan bahwa pemimpin integratif adalah:
“pemimpin yang setiap saat dapat diajak
berdiskusi, bertukar pikiran dan menerima saran dari bawahannya, dan sekaligus
konsen kepada kehidupan pengikutnya. Dengan demikian pemimpin integratif mampu
bersama-sama pengikutnya membangun visi organisasi yang dipimpinnya secara
lebih terarah dan terstruktur, sehingga mudah dipahami untuk didalami menjadi
visi bersama”.[64]
Lebih lanjut Eko
Maulana Ali (2013: 225: mengemukakan bahwa: “pemimpin integratif merupakan
pemimpin visioner yang mamapu mentransfer keinginannya ini menjadi visi
organisasi”.
Sedangkan Burt
Nanus dalam Eko Maulana Ali (2013:
225: mengemukakan bahwa:
“tidak ada mesin penggerak organisasi
yang lebih bertenaga dalam meraih keunggulan dan keberhasilan masa depan,
kecuali visi yang menarik, berpengaruh, dan dapat diwujudkan, serta mendapat
dukungan luas”.[65]
Dari beberapa uraian di atas, Penulis menyimpulkan bahwa
pemimpin integratif yang visioner adalah pemimpin dengan gaya demokratis dan
tidak saja mengandalkan kemampuan intelektualnya untuk menjalankan visi tetapi
selalu mendengar dan menerima saran dari bawahan maupun masyarakatnya.
Seorang pemimpin integratif yang visioner yang
efektif harus mampu menstimulasi masyarakatnya untuk hanyut dalam visinya
sehingga sepakat untuk membangun visi bersama dengan substansi yang tidak jauh
berbeda dengan kehendak pemimpin dan para pemimpin integratif yang efektif harus
mempelajari kelebihan dan kekurangan para pemimpin sukses di dunia, pemimpin
nasional, tokoh-tokoh lokal, termasuk suri teladan kemimpinan para
pendahulunya, (Eko Maulana Ali 2013: 270).[66]
2.6.2
Lima
(5) Praktek dan Sepuluh Komitmen Pemimpin Integratif
Pemimpin integratif
yang efektif harus mampu mencetuskan mensosialisasikan dan mengimpelementasikan
komitmen atau janji yang harus mempertanggungjawabkan dalam rangka membangun
masyarakat madani (civil society).
Th
Five Practices and Ten Goverments of Leadrships (Lima
Praktik Kepemimpinan dengan 10 komitmen) sebagaimana yang dicetuskan oleh James
M. Kouses and Barry Z. Posner, dalam bukunya yang berjudul Leadership the Callenge (2002) yang dikutip oleh Eko Maulana Ali
(2013) bahwa praktik dan komitmen tersebut akan diintegrasikan kepada
pemimpin-pemimpin integratif yang efektif dalam rangka membangun masyarakat
yang otonom, praktik dan komitmen-komitmen tersebut adalah:
a)
Memilih model kepemimpinan
Dalam
memilih model kepemimpinan seorang pemimpin harus betul-betul diyakini akan
membawa kesuksesan dalam proses kepemimpinan. Daalam suatu agadium disebutkan: you have to believe in something yourself
first, before you can get others to believe. Artinya “Kamu harus percaya
kepada dirimu sendiri, sebelum dapat membuat orang lain percaya kepada dirimu”.
Setelah kita memilih model kepemimpinan integratif ini maka perlu ada
komitmennya, yaitu:
1)
Memantapkan
nilai-nilai (values), yang akan
diadopsi untik mendrive cara berpikir.
2)
Membangun,
memelihara dan meningkatkan kredibilitas. Mengamalkan nilai-nilai tersebut
dalam kehidupan sehari-hari secara konsiten.
b)
Tahapan membangun Visi Bersama (Shared Vision)
Membangun visi bersama adalah suatu
tahapan yang membedakan antara kepemimpinan transformasional dengan tipikal
kepemimpinan lainnya. Visi dan misinya ditetapkan secara botton-up, yaitu dengan membangun aspirasi dari bawah atau
masyarakat. Ada dua komitmen yang harus dibangun, yaitu:
1)
Menginspirasi
visi: memvisikan masa depan organisasi atau pemerintah dengan impian dan
harapan.
2)
Membangun
visi bersama
c)
Tahapan membangun visi bersama
Pemimpin integratif yang efektif harus
berani berinovasi dan bereksperimen dalam melaksanakan Visi Bersama.
Sedangkan komitmennya adalah:
1)
Berani
berinovasi.
2)
Berani
bereksperimen
d)
Berkolaborasi untuk membangun mmbangun kerjasama.
Ada dua komitmen yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1)
Terbuka
dan membangun kolaborasi.
2)
Membangun
kemitraan.
e)
Menciptakan suasana bawahan merasa puas terhadap
hasil yang dicapai.
Adapun komitmennya:
1)
Memberikan
apresiasi.
2)
Mengadakan
acara ritual dan acara khususnya lainnya.[67]
2.7
Kabinet
Kabinet adalah suatu badan yang terdiri dari pejabat
pemerintah senior/level tinggi, biasanya mewakili cabang eksekutif. Kabinet
dapat pula disebut sebagai Dewan Menteri, Dewan Eksekutif, atau Komite
Eksekutif, penyebutan ini tergantung pada sistem pemerintahannya dan diketuai
oleh presiden atau perdana menteri sebagai pimpinan kabinet.[68]
Berdasarkan
sejarahnya, awal mula kabinet adalah sebagai sub kelompok kecil dari Dewan
Penasihat Monarki Inggris. Istilah ini berasal dari nama sebuah Kabinet (ruang)
yang digunakan untuk mengkaji suatu masalah.
Frase
cabinet counsel,
berarti nasihat yang diberikan secara pribadi kepada raja/ratu Inggris, muncul
pada akhir abad ke-16, dan, memberikan ejaan yang tidak baku pada masa kini,
seringkali sulit untuk membedakan apakah council atau counsel yang digunakan.[69]
Oxford
English Dictionary
mengutip pernyataan Francis Bacon di dalam Essaysnya (1605) dengan penggunaan
pertama Cabinet council, di mana hal itu dijelaskan kebiasaan asing, yang tidak
disetujuinya: "Untuk mana ketidakmudahan, diktrin Italia, dan praktik
Perancis, di beberapa zaman raja-raja, hath memperkenalkan cabinet counsel; cara untuk memulihkan lebih buruk daripada
penyakitnya itu sendiri. Charles I memulakan "Cabinet Council" (Dewan Kabinet) yang formal dari
kekuasaannya pada 1625, sebagai Dewan Penasihat Pribadi, atau "private
council" (dewan pribadi), terbukti tidaklah cukup pribadi, dan penggunaan
pertama yang tercatat dari "cabinet"
(kabinet) itu sendiri untuk suatu badan yang berasal dari tahun 1644, dan
lagi-lagi bermusuhan dan berserikat dengan istilah yang menunjukkan praktik
asing. Proses ini berulang baru-baru ini, karena para pemimpin merasa harus
memiliki Kabinet Dapur.[70]
Sedangkan
di Indonesia, orang-orang yang berada di dalam kabinet disebut menteri,
tugasnya adalah menjalankan amanat presiden dan memimpin departemen-departemen
yang ada di dalam pemerintahan.[71]
2.1.1
Macam-Macam Kabinet
a.
Kabinet Presidensil
Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana
pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden.
Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung
jawab kepada parlemen/DPR melainkan kepada presiden. Dalam sistem pemerintahan
presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang
independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti
dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara
terpisah.[72]
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri sistem
pemerintahan presidensial sebagai berikut.
1.
Penyelenggara
negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung
oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
2.
Kabinet
(dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden
dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
3.
Presiden
tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak
dipilih oleh parlemen.
4.
Presiden
tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
5.
Parlemen
memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen
dipilih oleh rakyat.
6.
Presiden
tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.[73]
b. Kabinet parlementer
Kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang
dibentuk dengan memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara yang ada didalam
parlemen. Jika dilihat dari komposisi (susunan keanggotaannya), kabinet
parlementer dibagi menjadi tiga, yaitu kabinet koalisi, kabinet nasional, dan
kabinet partai.[74]
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer
adalah sebagai berikut:
1.
Badan
legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar
sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
2.
Anggota
parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan
pemilihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki
peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
3.
Pemerintah
atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai
pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan
kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana
menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari
parlemen.
4.
Kabinet
bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat
dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu
parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan
mosi tidak percaya kepada kabinet.
5.
Kepala
negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah
perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik
atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan
pemerintahan, ia hanya berperan sebagai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
6.
Sebagai
imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran
dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan
pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.[75]
2.8
Sistem
Pemerintahan Indosnesia
Setiap
Negara memiliki sistem untuk menjalankan kehidupan pemerintahannya. Sistem
tersebut adalah sistem pemerintahan. Sejak tahun 1945 Indonesia pernah berganti
sistem pemerintahan. Indonesia pernah menerapkan sistem parlementer dan
presidensil. Selain itu terjadi juga perubahan pokok-pokok sistem pemerintahan
sejak dilakukan amandemen UUD 1945.[76]
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945
Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Namun
dalam perjalanannya, Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan
parlementer karena kondisi dan alasan yang ada pada waktu itu. Berikut adalah
sistem pemerintahan Indonesia dari 1945-sekarang.[77]
No
|
Tahun
|
Sistem Pemerintahan
|
1.
|
1945-1949
|
Presidensial
|
2.
|
1949-1950
|
Quasy
Parlementer
|
3.
|
1950-1959
|
Parlementer
|
4.
|
1959-1966
|
Presidensil
|
5.
|
1966-1998
|
Presidensil
|
Sumber: http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/03/sistem-pemerintahan-Indonesia.html
1. Sebelum Amandemen UUD 1945
Pokok-pokok
sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang
dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara
tersebut sebagai berikut.
1)
Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
2)
Sistem Konstitusional.
3)
Kekuasaan negara yang tertinggi di
tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4)
Presiden adalah penyelenggara
pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5)
Presiden tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6)
Menteri negara ialah pembantu
presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7) Kekuasaan kepala negara tidak tak
terbatas.[78]
Pemerintahan
orde baru dengan tujuh kunci pokok di atas, berjalan sangat stabil dan kuat.
Pemerintah memiliki kekuasaan yang besar. Sistem Pemerintahan Presidensial yang
dijalankan pada era ini memiliki kelemahan pengawasan yang lemah dari DPR namun
juga memiliki kelebihan kondisi pemerintahan lebih stabil.[79]
Di
akhir era orde baru muncul pergerakan untuk mereformasi sistem yang ada menuju
pemerintahan yang lebih demokratis. Untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan
sebuah pemerintahan yang konstitusional (berdasarkan konstitusi).
Pemerintahan yang konstitusional adalah yang didalamnya terdapat pembatasan
kekusaaan dan jaminan hak asasi. Kemudian dilakukanlah amandemen Undang-Undang Dasar
1945 sebanyak 4 kali, tahun: 1999, 2000, 2001, 2002. Berdasarkan Konstitusi
yang telah diamandemen ini diharapkan sebuah sistem pemerintahan yang lebih
demokratis akan terwujud.[80]
2. Sistem
Pemerintahan Setelah Amandemen
a.
Bentuk negara kesatuan dengan
prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa
provinsi.
b.
Bentuk pemerintahan adalah republik
konstitusional, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
c.
Presiden adalah kepala negara dan
sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat dalam satu paket.
d.
Kabinet atau menteri diangkat oleh
presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
e.
Parlemen terdiri atas dua bagian
(bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan
kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
f.
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh
Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.[81]
Dalam
pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia setelah Amandemen Indonesia menganut
Bentuk pemerintahan adalah republik konstitusional, sedangkan sistem
pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur
dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk
menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial.[82]
Beberapa
variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai
berikut:
1)
Presiden sewaktu-waktu dapat
diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan
mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
2)
Presiden dalam mengangkat penjabat
negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
3)
Presiden dalam mengeluarkan
kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
4)
Parlemen diberi kekuasaan yang lebih
besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).[83]
Dengan
demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal
itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan
baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral,
mekanisme cheks and balance, dan
pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan
dan fungsi anggaran.
a. Kelebihan Sistem Pemerintahan
Presidensial
1)
Menteri tidak dapat di jatuhkan
Parlemen karena bertanggung jawab kepada presiden.
2)
Pemerintah dapat leluasa waktu
karena tidak ada bayang-bayang krisis kabinet
3)
Badan eksekutif lebih stabil
kedudukannya sebab tidak tergantung pada parlemen
4)
Masa jabatan badan eksekutif lebih
pasti dengan jangka waktu tertentu. Misalkan, masa jabatan Presiden Amerika
Serikat selama empat tahun, sedangkan Presiden Indonesia lima tahun.
5)
Penyusun program kerja kabinet lebih
mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
6)
Legislatif bukan tempat kaderisasi
untuk jabatan-jabatan eksekutif sebab dapat diisi oleh orang luar termasuk juga
anggota parlemen sendiri.[84]
b. Kelemahan Sistem Pemerintahan Presidensial
1)
Pengawasan rakyat lemah
2)
Pengaruh rakyat dalam kebijakan
politik negara kurang mendapat perhatian
3)
Kekuasaan eksekutif diluar
pengawasan langsung badan legislatif sehingga dapat menimbulkan kekuasaan mutlak
4)
Sistem pertanggungjawaban kurang
begitu jelas
5)
Pembuatan keputusan/kebijakan publik
umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif & legislatif sehingga dapat
terjadi keputusan tidak tegas & memakan waktu yang lama.[85]
Menurut
Umi dan Heri (dalam Arend Lijphart, 1955: 14-17) dalam sistem presiden terdapat
kelebihan-kelebihan diantaranya: (1) adanya stabilitas eksekutif atau
pemerintahan, (2) pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dipandang lebih
demokratis daripada pemelihan tidak langsung dalam sistem parlementer, (3)
adanya pemisahan kekuasaan, yang berarti pemerintahan dibatasi dan adanya
perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah.[86]
Selanjutnya
juga Umi dan Heri (dalam Arend Lijphart, 1955: 18-22) mencatat tiga kekurangan
sistem presidensil yaitu: (1) masalah kemandegan atau konflik
eksekutif-legislatif yang bisa berubah menjadi “jalan buntu” dan kelumpuhan
sebagai akibat dari ko-eksistensi dari dua badan independen yang diciptakan
oleh pemerintah presidensil, (2) kekuatan temporal, dimana masa jabatan
presiden yang pasti menguraikan periode-periode yang dibatasi secara kaku dan
tidak berkelanjutan sehingga tidak memberi kesempatan untuk melakukan berbagai
penyesuaian yang dikehendaki oleh keadaan, dan (3) sistem ini berjalan atas
dasar aturan “pemenang menguasai semua yang cenderung membuat politik demokrasi
sebagai sebuah permainan dengan semua potensi konfliknya.[87]
2.9
Kerangka
Berpikir
Gambar 1. Kerangka Pikir
Sumber : Olahan
Penulis
Sesuai
dengan skema kerangka berpikir di atas, dapat dijelaskan bahwa gaya
kepemimpinan sangat berpengaruh dalam proses penyusunan komposisi kabinet karena
antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo memiliki latar belakang
belakang yang berbeda yang dimana Susilo Bambang Yudhoyono adalah militer dan Joko
Widodo adalah sipil yang berprofesi sebagai pengusaha. Pada umumnya kepemimpinan militer (1) tegas,
berwibawa dan memiliki akses langsung di bidang pertahanan keamanan; (2) Mampu
mengambil langkah – langkah strategis di saat krisis; dan (3) Mementingkan
martabat negara daripada menjalin hubungan diplomatis dengan negara lain.
Sedangkan
kepemimpinan
sipil: (1) tidak tegas, (2) tidak memiliki
kewibawaan dalam menentukan langkah-langkah strategis di bidang pemerintahan
dan (3) Tidak mampu bertahan dalam tekanan. Namun realitas bahwa dalam setia
pengambilan keputusan Susilo Bambang Yudhoyono “Fikirkan Dulu, Laksanakan Kemudian”, sebaliknya Joko Widodo “Laksanakan Dulu, Fikirkan Masalah Yang
Timbul Kemudian”. Artinya Susilo Bambang Yudhoyono kadang lamban dalam
mengambil keputusan karena harus dipertimbangkan secara matang, sedangkan Joko
Widodo apabila terjadi suatu persoalan tidak tanggung-tanggung dalam mengambil
keputusan sedangkan resiko yang akan terjadi nanti baru dipikirkan.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Mengadakan
survey terhadap data yang telah ada merupakan langkah yang penting dalam metode
ilmiah. Memperoleh data dari penelitian terdahulu harus dikerjakan, tanpa
memperdulikan apakah sebuah penelitian
menggunakan data primer atau data sekunder, apakah penelitian tersebut
menggunakan Penulisan lapangan ataupun laboratorium atau di dalam museum.
Menelusuri literatur yang ada serta menelaahnya secara tekun merupakan kerja
kepustakaan yang sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian (Nasir, 2005:
93).
Survey terhadap
data yang telah tersedia dapat dikerjakan setelah masalah penelitian dipilih
atau dilakukan sebelum masalah dipilih. Jika studi kepustakaan dilakukan
sebelum pemilihan masalah, penelaahan kepustakaan termasuk memperoleh ide
tentang masalah apa yang paling up to
date untuk dirumuskan dalam penelitian (Nasir, 2005: 93).
Dengan
mengadakan survey terhadap data yang telah ada, si Peneliti menggali
teori-teori yang telah berkembang dalam bidang ilmu yang berkepentingan,
mencari metode-metode serta teknik penelitian, baik dalam mengumpulkan data
terdahulu; memperoleh orientasi yang lebih luas dalam permasalahan yang
dipilih, serta menghindarkan terjadi duplikasi – duplikasi yang tidak
diinginkan. Studi literatur selain dari mencari sumber data sekunder yang akan
mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana terdapat
kesimpulan dan degeneralisasi yang telah pernah dibuat, sehingga situasi yang
diperlukan dapat diperoleh. Dengan mengadakan studi terhadap literatur yang
telah ada, si peneliti juga dapat belajar secara lebih sistematis lagi tentang
cara-cara menulis karya, cara mengungkapkan buah pikiran yang akan membuat si peneliti
lebih kritis dan analitis dalam mengerjakan Penulisannya sendiri (Nasir, 2005:
93).
3.2 Lokasi Penelitian
Seorang Peneliti
dalam rangka pelaksanaan pengumpulan data, harus menentukan sumber-sumber data
serta lokasi dimana sumber data tersebut dapat ditemukan dan diteliti. Berbeda
dengan objek penelitian lapangan, lokasi penelitian untuk penelitian
kepustakaan jauh lebih luas bahkan tidak mengenal batasan ruang. Hal ini
berarti lokasi pengumpulan data dapat ditemukan di manapun manakala tersedia
kepustakaan yang sesuai dengan objek material penelitian tersebut. Lokasi
tersebut dapat merupakan tempat tertentu misalnya perpustakaan, toko-toko buku,
pusat studi, pusat penelitian, bahkan dapat pula melalui internet. Dari berbagai lokasi Penulisan tersebut perpustakanlah
sebagai salah satu sumber data yang paling kaya dan mudah di temukan (Kaelan,
2012: 147).
Sesuai dengan
pendapat Kaelan di atas, maka yang dijadikan lokasi Penelitian ini adalah:
Perpustakan Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara.
3.3 Desain Penelitian
Tiap Penelitian
harus direncanakan. Untuk itu diperlukan suatu desain penelitian. Desain penelitian
merupakan rencana tentang cara mengumpulkan dan menganalisis data agar dapat
dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Desain penelitian
yang banyak kita dapati ialah desain survey,
case study dan eksperimen.
(Nasution, 2007: 27-28).
Namun yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi komparasi dengan pendekatan
kajian pustaka.
Studi kasus,
atau penelitian
kasus (case study), adalah penelitian
tentang status subjek penelitian
yang berkenan dengan suatu fase spesifik atas khas dari keseluruhan
personalitas (Maxfield, 1930, dalam
Nasir, 2005: 57). Subjek penelitian
dapat berupa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Peneliti ingin
mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari
unit-unit sosial yang menjadi subjek. Tujuan studi kasus adalah untuk
memberikan gambaran secara menteail tentang latar belakang, sifat-sifat serta
karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang
kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan jadikan suatu hal yang bersifat
umum (Nasir, 2005: 57).
Studi kasus
banyak dikerjakan untuk meneliti desa, kota besar, sekelompok manusia drop aut, tahanan-tahanan, pemimpin-pemimpin,
dan sebagainya.
Lebih
lanjut Nasution (2007: 27-28) mengatakan case
study adalah bentuk penelitian
yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di
dalamnya. Case study dapat dilakukan
terhadap seorang individu, sekelompok (misalnya suatu keluarga), segolongan
manusia (guru, suku dll), lingkungan hidup manusia (desa, sektor kota) atau
lembaga sosial (perkawinan-perceraian). Case
study dapat mengenai perkembangan sesuatu dan dapat pula memberi gambaran
tentang keadaan ada.
Berdasarkan
uraian di atas, maka yang menjadi fokus kajian di dalam penelitian
ini adalah Analisis perbandingan gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
dengan Joko Widodo dalam penyusunan kabinet.
3.3.1
Definisi Konsep
Definisi konsep merupakan tahapan memberikan
batasan-batasan pengertian atau istilah terhadap suatu masalah sehingga
diperoleh gambaran yang jelas dan terperinci terhadap penelitian
yang akan dilakukan. Agar fokus penelitian lebih jelas dan terarah, maka peneliti
membuat pembatasan dan penegasan terhadap definisi konsep, yaitu sebagai
berikut:
1) Gaya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang pemimpin
dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang bawahan
untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam
mencapai suatu tujuan tertentu.
2) Kabinet adalah dewan menteri yang bertugas membantu
presiden serta diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
3.3.2
Definisi
Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran lanjut
dari variable penelitian
sehingga dapat diukur melalui analisis data-data yang ada kaitannya dengan gaya
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penyusunan
kabinet.
Analisis perbandingan gaya kepemimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penyusunan kabinet maka dapat dianalisis
melalui aspek-aspek berikut:
1.
Kedudukan
SBY dan Jokowi Dalam Partai Politik
2.
Jumlah
Partai Politik Koalisi SBY dan Jokowi di Parlemen
3.
Tekanan
Politik yang dihadapi SBY dan Jokowi Paska Pilpres
4.
Proses
Seleksi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)
Jilid I dan Kabinet Kerja
5.
Perbandingan
Strategi SBY dan Jokowi dalam Menghadapi Dinami Politik di Internal Partai Pendukung
6.
Jumlah
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I dan Kabinet Kerja sebelum Reshulfe
7.
Orientasi
SBY dan Jokowi dalam Menentukan Komposisi Kabinet
3.4 Instrumen Penelitian
Menurut
Nasution dalam Kaelan (2012: 158) mengatakan bahwa suatu ciri khas penelitian
kualitatif adalah peneliti secara langsung terjun dalam melakukan penelitian,
bahkan Peneliti adalah “key instrument”.
Hal ini mengandung konsekuensi bahwa Peneliti harus secara aktif dan terlibat
langsung dalam penelitian.
Terutama dalam penelitian
kepustakaan, Peneliti tak dapat menggunakan tenaga lain sebagai pembantu dalam
melakukan pengumpulan data, dan jikalau ini dilakukan maka Peneliti akan
mengalami kesulitan besar. Hal ini disebabkan bahwa dalam pengumpulan data
kepustakaan, senantiasa dilandasai oleh keterangan atau dugaan sementara, yang
dalam penelitian
kualitatif disebut hipotesis (Kaelan, 2012: 158).
Jadi
dalam penelitian
kepustakaan Peneliti merupakan instrument utama, sehingga apa yang harus
dikumpulkan pertama kali sangat tergantung pada Peneliti. Keterangan sementara
memberikan arah terhadap unsur-unsur yang harus digali dari data penelitian
yang terkandung dalam sumber data kepustakaan (Kaelan, 2012: 159).
Instrument
berikutnya yang sangat penting dalam penelitian kepustakaan adalah kartu data.
Namun instrumen ini bisa tidak dioperasionalkan karena mengingat situasi dan
kondisi perpustakaan (Kaelan, 2012: 162).
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses
pengumpulan data Penulisan studi kepustakaan kegiatan utama Penulis adalah
membaca dan mencatat informasi yang terkandung dalam tersebut. Tugas utama Peneliti
adalah menangkap makna yang terkandung dalam sumber data kepustakaan tersebut
(Kaelan, 2012: 163).
Lebih lanjut di
jelaskan oleh Nasir (2005: 103) bahwa membaca dan mencatat informasi merupakan
bagian yang paling penting dalam studi kepustakaan.
Jadi teknik
pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah membaca dan mencatat atau mengutip hal-hal yang berkaitan dengan
objek material yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
3.5.1
Membaca
Membaca segala
keterangan yang ada hubungannya dengan penelitian sangat penting perannya dalam
studi kepustakaan. Menurut Wilson Jr. dalam Nasir (2005: 103) memberikan dua
tujuan utama membaca, yaitu untuk mencari apakah keterangan-keterangan mengenai
Penulisan ada dan tersedia, dan kedua,
untuk memperoleh latar belakang yang cukup dalam di dalam bidang penelitian
yang dilakukan si Peneliti. Salah satu kegunaan utama membaca adalah untuk
menunjukkan data komparatif (pembanding) yang berguna dalam mengadakan
interpretasi hasil penelitian
nantinya.
3.5.2
Mengutip
Informasi
Karena daya ingat seseorang selalu dibatasi oleh
dimensi waktu, maka apa yang penting dalam bacaan perlu dicatat. Jenis-jenis
kutipan yang dibuat bisa dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk penting adalah:
quotasi, paraphrase, kesimpulan dan
praisi. Quotasi adalah mengutip
secara langsung tanpa mengubah satu katapun dari kata-kata pengarang. Dalam hal
ini harus digunakan koma dua dan koma dua tutup (“ ”). Paraphrase adalah mengutip seluruh isi bacaan dengan
menggunakan kata-kata si Penulis atau si pembaca sendiri. Ikhtisar atau summary adalah mencatat synopsis atau
kependekan dari keseluruhan pemikiran yang ada dalam dengan menggunakan
kata-kata sendiri. Précis (baca: praise) adalah pemendekan isi yang lebih padat
dari summary, dengan memilih secara
hati-hati material yang akan dipendekkan dengan menggunakan kata-kata sendiri yang
tidak lari dari rencana orisional artikel (Nasir, 2005: 103-104).
3.6 Sumber Data
Sumber data
dalam Penulisan kualitatif studi kepustakaan banyak sekali dari buku teks
sampai dengan surat kabar. Dalam penelitian ilmiah, selain dari buku referensi
digunakan juga sumber-sumber berikut: (a) Buku teks (textbook); (b) Jurnal; (c) Yearbook;
(d) Bulletin; (e) Annual review; dan
Recen advances (Nasir, 2005: 105).
Sumber data yang digunakan dalam Penulisan
ini adalah sumber dari bahan bacaan yang disebut sumber sekunder. Sumber-sumber
sekunder meliputi sumber lain seperti majalah, bulletin, publikasi dari
berbagai organisasi, lampiran-lampiran dari badan – badan resmi seperti
kementerian-kementerian, hasil-hasil studi, tesis, hasil survey, studi
historis, dan sebagainya. (Nasution, 2007: 144-145).
Bahan – bahan dari sumber sekunder
dapat dipandang sebagai data yang dikumpulkan sendiri dank arena itu harus
diberi perlakuan dan pengolahan yang sama. Artinya bahan itu masih perlu
diseleksi, digolongkan diselidiki validitas dan reliabilitasnya, dibandingkan
sebelum digunakan untuk menguji hipotesis dan teori masalah penelitian kita
(Nasution, 2007: 145).
Data itu dapat digunakan untuk
memperoleh generalisasi-generalisasi yang bersifat ilmiah atau memperoleh
pengetahuan ilmiah yang baru, dan dapat pula berguna sebagai pelengkap
informasi yang telah dikumpulkan sendiri oleh Peneliti. Dan akhirnya itu dapat
juga memperkuat penemuan atau pengetahuan yang telah ada (Nasution, 2007: 145).
Sumber sekunder (secondary resources), juga termasuk dokumen-dokumen ekspresif (expressive documents), seperti
biografi, autobiografi, surat-surat, dan buku-buku harian termasuk juga laporan
media massa (mass media reports) baik
melalui surat kabar, majalah, radio, televise, maupun media cetak dan
elektronis lainnya (Sanapiah Faisal, 2007: 53).
Jadi sumber data
yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sumber data sekunder.
3.7 Tahap Analisis Data
3.7.1
Analisis
pada Waktu Pengumpulan Data
Dalam penelitian
kualitatif kepustakaan bidang ilmu interdisipliner, analisis data tidak hanya
dilakukan setelah pengumpulan data, melainkan juga pada waktu proses
pengumpulan data. Setiap aspek pengumpulan data, Penulis senantiasa sekaligus
melakukan suatu analisis. Dalam memenuhi tujuan penelitian, pada waktu pengumpulan data Peneliti
melakukan aspek demi aspek, sesuai dengan peta Penulisan (Kaelan, 2012: 173).
3.7.2
Analisis
Setelelah Pengumpulan Data
Setelah dilakukan proses pengumpulan data, Peneliti menghadapi
sejumlah besar data mentah yang masih harus ditentukan hubungan satu dengan
yang lainnya. Data yang telah terkumpul belum mampu menjawab permasalahan dan
tujuan penelitian,
karena belum ditemukan konstruksi teoritisnya. Oleh karena itu, setelah proses
pengumpulan data maka Peneliti kemudian melakukan analisis data (Kaelan, 2012:
175).
Sebagaimana pendapat Patton (1980), bahwa yang
dimaksud dengan analisis “proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke
dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar” (Patton dalam Kaelan, 2012: 175).
Oleh karena itu, setelah proses pengumpulan data,
kemudian dilakukan proses analisis data sebagai berikut.
a.
Reduksi
Data
Setelah
dilakukan pengumpulan data dari berbagai sumber data, semua data diinventalisir
dalam bentuk uraian yang terperenci. Jadi laporan penelitian
yang berupa data penelitian
masih merupakan bahan mentah direduksi, disingkatkan, dipadatkan intisarinya,
dan disusun secara sistematis sehingga mudah dikendalikan. Jadi melalui proses
reduksi data, Penulis akan mudah untuk mengarahkan hasil analisis data kearah
teori grounded, yaitu suatu pola
bangunan teoritis sebagai hasil pengamatan data sebagaimana terkandung dalam
masalah dan tujuan penelitian
(Kaelan, 2012: 176).
b.
Klasifikasi
Data
Setelah
dilakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah klasifikasi data, yaitu
mengelompokkan data-data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan objek
formal penelitian
(Kaelan, 2012: 176-177).
c.
Display
Data
Proses display
data dilakukan dengan membuat kategorisasi, mengelompokkan kepada kategori
tertentu, membuat klasifikasi dan menyusunnya dalam suatu sistem sesuai dengan
peta masalah penelitian
(Kaelan, 2012: 177).
Proses display
data merupakan proses yang sistematis untuk menuju pada proses konstruksi
teoritis, karena dengan dilakukannya proses analisis display data, maka dapat
diketahui hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya (Kaelan, 2012:
177).
3.8 Objek Penelitian
Objek penelitian dalam ilmu dapat dibedakan atas
objek formal dan objek material. Objek
formal adalah objek yang menyangkut sudut pandang, yaitu dari sudut pandang
apa objek material kajian ilmu itu dibahas atau dikaji. Adapun objek material adalah objek adalah objek
yang merupakan fokus kajian dari suatu ilmu pengetahuan tertentu (Kaelan 2012:
49).
Jadi yang menjadi objek dalam penelitian
ini adalah perbandingan gaya kepemimpinan antara Susilo Bambang Yudhoyono
dengan Joko Widodo dalam penentuan komposisi kabinet.
3.9 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam setiap proses analisis
data, tergantung pada tipe atau model Penulisan yang dilakukan, mengingat dalam
Penulisan kualitatif kepustakaan bidang ilmu interdisipliner terdapat banyak
tipe dan modelnya tergantung pada objek formal dan material Penulisan (Kaelan,
2012: 178). Oleh karena dari sekian banyak metode yang diuraikan oleh Kaenal, Penulis
hanya memilih beberapa metode yang disesuaikan dengan objek formal dan material
penelitian,
yaitu sebagai berikut.
a. Metode Verifikasi Historis
Setelah
data terkumpul dalam berbagai kategorinya, tahap berikutnya adalah melakukan
verifikasi, atau sering dalam ilmu sejarah disebut kritik untuk memperoleh
keabsahan sumber sejarah (Kaelan, 2012: 189-190).
Jadi
dalam metode ini Peneliti melakukan verifikasi untuk mencari tahu keabsahan
berita yang diterbitkan oleh suatu media.
b. Metode Deskriptif Historis
Metode
deskriptif historis dalam penelitian
sejarah adalah untuk melukiskan, menjelaskan, dan menerangkan fakta sejarah.
Metode ini berupaya untuk melukiskan peta sejarah, yaitu menyangkut tentang
apa, siapa, kapan, bagaimana dan dimana peristiwa itu terjadi (Kartodirdjo dalam Kaelan, 2012: 191).
Jadi
dalam metode penelitian
ini Peneliti mendeskripsikan objek material dalam penelitian
ini, yaitu Peneliti melukiskan tentang apa, siapa, bagaimana, dan dimana
peristiwa itu terjadi.
c. Metode Rekonstruksi Biografis
Untuk
meneliti latar belakang seorang tokoh atau beberapa tokoh atau beberapa tokoh,
harus dilakukan rekonstruksi biografi, metode ini diterapkan dalam rangka untuk
memahami kepribadian seseorang tokoh yang menjadi objek penelitian
sejarah. Latar belakang “sosio cultural,
religious, di mana tokoh itu dibesarkan, bagaimana proses pendidikan
intelektualnya, watak orang yang ada disekitarnya dan lain sebagainya” (Kaelan,
2012: 192).
Lebih
lanjut Nasir (2005: 53) mengatakan bahwa metode sejarah yang digunakan untuk
meneliti seseorang dan hubungannya dengan masyarakat dinamakan penelitian
biografis. Dalam metode ini, diteliti “sifat-sifat,
watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide
dari subjek penelitian dalam masa hidupnya, serta pembentukan
watak figure yang diterima selama hayatnya.
Jadi
dalam metode ini Peneliti menelusuri biografi para tokoh yang dijadikan sebagai
subjek dalam penelitian
ini, kemudian membandingkannya menggunakan metode analisis komparaif
(perbandingan) dengan beberapa indikator.
d. Metode Komparatif
Jika penelitian dengan metode historis (sejarah)
dikerjakan untuk membandingkan faktor-faktor dan fenomena-fenomena sejenis pada
suatu periode masa lampau maka Penulisan tersebut dinamakan penelitian
tersebut dinamakan penelitian
sejarah komparatif. Dalam hal ini, si Peneliti ingin memperlihatkan unsur-unsur
perbedaan dan persamaan dari fenomena – fenomena sejenis (Nasir, 2012: 52).
Setiap orang memiliki ciri kas masing-masing dalam
arti menyangkut cara berpikirnya maupun isi dari pemikirannya. Sistem pemikiran
yang demikian ini memang sangat menarik untuk diteliti dalam suatu model penelitian
komparatif (Kaelan, 2012: 199).
Metode komparatif diterapkan dalam rangka melakukan
pembandingan dua pemikiran dalam ilmu interdisipler bidang sosial, budaya,
filsafat maupun keagamaan atau konsep-konsep lainnya yang disesuaikan dengan
objek formal dan material penelitian
(Collin, 1975; dan Bakker dalam Kaelan,
2012: 199).
Tahap-tahap metode komparatif menurut Kaelan (2012:
199) adalah sebagai berikut:
1)
Dilakukan
deskripsi masing – masing konsep atau gaya kepemimpinan sesuai dengan masalah
dan tujuan penelitian
2)
Dilakukan
display masing-masing konsep atau pemikiran dan atau gaya kepemimpinan yang
dianut oleh tokoh atau pemimpin, kemudian ditentukan asas pembandingnya.
3)
Dicari
ciri kas masing-masing, serta dicari kesamaan dan perbedaan kedua obek formal
dan material yang akan diteliti.
4)
Melakukan
evaluasi kritis, yaitu melakukan suatu analisis evaluatif terhadap kedua objek
tersebut kemudian dilakukan penyimpulan.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
Ali,
Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif
Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing.
Faisal, S.
2007. Format-Format Penulisan Sosial.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kaelan, H.
2012. Metode Penulisan Kualitatif
Interdisipliner Bidang: Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora.
Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
Nasution, S.
2007. Metode Research (Penulisan Ilmiah).
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Nasir,
Mohammad. 2005. Metode Penulisan. Penerbit
Ghalia Indonesia.
Suyanto,
I. 2014. Pemimpin Berkaki Rakyat
“Membangun Parpol Berbasis Kader”. Yogyakarta: Galang Pustaka
Internet
Adad Danuarta. 2014. Gaya Kepemimpinan Menurut Para Ahli.
http:// adaddanuarta.blogspot. co.
id/2014/11/gaya-kepemimpinan-merurut-para-ahli.html
Arief
Muchtarom. 2010. Kepmimpinan.
http://ariefmuchtarom. blogspot. co.id /2010/01/ kepemimpinan. html diakses
tanggal 13 Maret 2017.
Berita.suaramerdeka.com.
Antara Perfeksionis dan Koboi
http://berita. suaramerdeka. Com /smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/
diakses tanggal 13 maret 2017
blogspot.com. Sistem
Pemerintahan Indonesia. http://sistempemerintahan-indonesia. blogspot.
com/ diakses 2 Februari 2017.
Faturkrachman.
2016. Makalah Perbedaan di Bidang
Politik. http:// faturkrachman. blogspot. co.
id/2016/12/makalah-perbedaan-di-bidang-politik.html diakses tanggal 13 maret
2017.
http://digilib.unila.ac.id/9251/3/BAB%20II.pdf
diakses tanggal 13 maret 2017
Juanda Wijaya. 2006. Menimbang Kepemimpinan Sipil dan Militer.
http://juanda-wijaya.
blogspot.co.id/2006/05/menimbang-kepemimpinan-sipil-dan.html diakses tanggal
13 Maret 2017.
Juan Dinash. 2013. Sistem Pemerintahan Indonesia. Diakses pada tanggal 2 Februari 2017. http://sistempemerintahan-indonesia. blogspot.co.id /2013/03/sistem-pemerintahan-indonesia.html
Kompas.com. 2016. Pengamat
Joko Widodo Berani Ambil Resiko Susilo Bambang Yudhoyono Lebih Suka Manjakan
Rakyat. http://nasional.kompas.com/read /2016/03/ 21/ 2117 4301/Pengamat.Joko
Widodo.Berani.Ambil.Resiko. Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih. Suka. Manjakan.
Rakyat diakses tanggal
13 maret 2017
Mindtalk.com.
Bedanya Kabinet Kerja Joko Widodo dan
Susilo Bambang Yudhoyono. https:// www. mindtalk. com/ channel
/coffeebreak/ post/bedanya-kabinet-kerja-Joko Widodo-dan- Susilo Bambang
Yudhoyono-529525400846471365.html diakses tanggal 13 maret 2017.
Maturbongs, E. 2010. Kabinet Presidensil dan Parlementer. Diakses pada tanggal 1
Februari 2017.https://ematurbongs.blogspot.co.id/2010/04/kabinet-presidensil-dan-parlementer.html
Rahayu,
Srikandi. 2014. Seputar Pengertian Kabinet Pemerintahan. diakses pada
tanggal 1 Februari 2017 http://seputarpengertian.
blogspot.co.id /2014 /09/seputar-pengertian-kabinet-pemerintahan.html
Suara
Merdeka.com. Antara Perfeksionis dan
Koboi. http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/
diakses tanggal 13 maret 2017.
www.coursehero.com.
Pembawaan Susilo Bambang Yudhoyono Karena
Dibesarkan Dalam Lingkungan Tentara dan ia Juga Berlatar. https:// www. coursehero.
com/file/ p1sjt2v/ Pembawaan- SUSILO BAMBANG YUDHOYONO-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/
diakses tanggal 13 maret 2017.
www.rmol.co.
2014. Bias Makna Blusukan. http://www.rmol.co/ read /2014/
11/11/179420/Bias-Makna-Blusukan. diakses tanggal 13 Maret 2017.
Perperaturan
Perundang-Undangan:
Undang-Undang
Dasar 1945
[1]
http://ariefmuchtarom.blogspot.co.id/2010/01/kepemimpinan.html diakses tanggal
13 maret 2017
[2] http://juanda-wijaya.blogspot.co.id/2006/05/menimbang-kepemimpinan-sipil-dan.html diakses tanggal
13 maret 2017
[3]
http://digilib.unila.ac.id/9251/3/BAB%20II.pdf diakses tanggal 13 maret 2017
[4]
http://wahib-ramadhan.blogspot.co.id/p/pemerintahan-sipil-milliter.html diakses
tanggal 13 maret 2017
[5]https://www.mindtalk.com/channel/coffeebreak/post/bedanya-kabinet-kerja-jokowi-dan-sby-5295254
008 46471365.html diakses tanggal 13 maret 2017
[7]
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/ diakses
tanggal 13 maret 2017
[8]https://www.mindtalk.com/channel/coffeebreak/post/bedanya-kabinet-kerja-jokowi-dan-sby-529525400846471365.html
diakses tanggal 13 maret 2017
[9]https://www.mindtalk.com/channel/coffeebreak/post/bedanya-kabinet-kerja-jokowi-dan-sby-5295254008464
71365. html diakses tanggal 13 maret 2017
[10]
https://id-id.facebook.com/gasby2/posts/670594279623698 diakses tanggal 13
maret 2017
[11] Ibid
[12] http://nasional.kompas.com/read/2016/03/21/21174301/Pengamat.
Jokowi.Berani. Ambil.Resiko. SBY. Lebih.Suka.Manjakan.Rakyat diakses tanggal 13 maret 2017
[13]https://www.coursehero.com/file/p1sjt2v/Pembawaan-SBY-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/
diakses tanggal 13 maret 2017.
[14] http://www.rmol.co/read/2014/11/11/179420/Bias-Makna-Blusukan
diakses tanggal 13 maret 2017
[15]
https://www.coursehero.com/file/p1sjt2v/Pembawaan-SBY-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/
diakses tanggal 13 maret 2017
[16]
http://faturkrachman.blogspot.co.id/2016/12/makalah-perbedaan-di-bidang-politik.html
diakses tanggal 13 maret 2017
[17]Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[19] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[22] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[24] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[25] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[26] http://adaddanuarta.blogspot.co.id/2014/11/gaya-kepemimpinan-merurut-para-ahli.html
diakses tanggal 14 Maret 2017
[27] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[28] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[29] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[30] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing.
[32] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[34] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[37] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[38] Suyanto, I.
2014. Pemimpin Berkaki Rakyat “Membangun
Parpol Berbasis Kader”. Yogyakarta: Galang Pustaka
[40] Suyanto, I.
2014. Pemimpin Berkaki Rakyat “Membangun
Parpol Berbasis Kader”. Yogyakarta: Galang Pustaka
[42] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[45] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[48] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[51] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[54] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[56] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[58] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[61] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[63] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[64] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[66] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[67] Ali, Maulana E.
2013. Kepemimpinan Integratif Dalam
Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[68] http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/09/seputar-pengertian-kabinet-pemerintahan.html diakses pada
tanggal 1 Februari 2017
[70] http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/09/seputar-pengertian-kabinet-pemerintahan.html diakses pada
tanggal 1 Februari 2017
[72] https://ematurbongs.blogspot.co.id/2010/04/kabinet-presidensil-dan-parlementer.html Diakses
pada tanggal 1 Februari 2017
[75] https://ematurbongs.blogspot.co.id/2010/04/kabinet-presidensil-dan-parlementer.html Diakses
pada tanggal 1 Februari 2017
[76] http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/03/sistem-pemerintahan-indonesia.html Diakses
pada tanggal 1 Februari 2017
[78] http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/03/sistem-pemerintahan-indonesia.html Diakses
pada tanggal 1 Februari 2017
[81] http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/03/sistem-pemerintahan-indonesia.html Diakses
pada tanggal 1 Februari 2017
[82] Ibid hal. 41
[83] http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.co.id/2013/03/sistem-pemerintahan-indonesia.html Diakses
pada tanggal 1 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar