PROPOSAL PENELITIAN "ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SBY DENGAN JOKOWI DALAM PENYUSUNAN KABINET"


ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SBY DENGAN JOKOWI DALAM PENYUSUNAN KABINET


PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Prasyarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Dengan Spesifikasi Ilmu Pemerintahan

 

 
 
Oleh

AGUSTINUS TAENA
21 13 0065



PROGRAM  STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TIMOR
KEFAMENANU
2017




PERSETUJUAN

Judul
:
ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SBY DENGAN JOKOWI DALAM PENYUSUNAN KABINET (STUDI KEPUSTAKAAN)
Nama
NPM  
Semester
Program Studi
Telah disahkan pada tanggal

:
:
:
:
:
Agustinus Taena
21 13 0065
VIII
Ilmu Pemerintahan
1 Maret 2017



Dosen Pembimbing Utama


Dian Festianto, S.Ip, MA
Dosen Pembimbing Pendamping


Yakobus Kolne, S.Ip, M.Si


Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan


Medan Yonathan Mael, S.Ip, M.Si
NIP.19740512 200501 1001









KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini dengan baik. Proposal Penelitian ini disusun dengan judul: “Analisis Perbandingan Gaya Kepemimpinan SBY Dengan Jokowi Dalam Penyusunan Kabinet (Studi Kepustakaan)”.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan pendidikan di Universitas Timor sampai dengan saat penyusunan Proposal Penelitian ini tidak terlepas dari campur tangan Tuhan dan teristimewa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, patutlah penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang iklas kepada:
1.        Bapak Bernadus Seran Kehik, S.Ip, MA sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
2.        Bapak Medan Y. Mael, S.Ip., M.Si sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan.
3.        Bapak Dian Festianto S.Ip., MA, sebagai dosen Pembimbing Utama, yang dengan sabar dan tulus, memberikan koreksi, masukan dalam penyempurnaan Proposal Penelitian ini.
4.        Bapak Yakobus Kolne, S.Ip, M.Si sebagai dosen pembimbing pendamping yang dengan sabar dan tulus, memberikan koreksi, masukan dalam penyempurnaan Proposal Penelitian ini.
5.        Keluargaku tercinta atas dukungan doa dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini tanpa ada hambatan.
6.        Rekan-rekan se-angkatan khususnya rekan-rekan se-program studi Ilmu Pemerintahan secara langsung atau tidak telah memberikan bantuan berupa sharing informasi dan pengalaman dalam menimba ilmu di Unimor Kefamenanu.
Akhirnya terima kasih untukmu semua, dan bila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam Proposal Penelitian ini, maka segala kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan, dapat penulis terima dengan senang hati.


Kefamenanu,  Maret 2017

             Penulis        











DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL..........................................................................................................      i
PERSETUJUAN..........................................................................................      ii
KATA PENGANTAR................................................................................      iii
DAFTAR ISI................................................................................................      v
DAFTAR TABEL.......................................................................................      vii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................      viii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................      1
1.1  Latar Belakang ..................................................................................      1
1.2  Rumusan Masalah .............................................................................      11
1.3  Tujuan Penelitian ...............................................................................      12
1.4  Manfaat Penelitian ............................................................................      12
1.4.1   Manfaat Teoritis .......................................................................      12
1.4.2   Manfaat Praktis ........................................................................      12
BAB II KAJIAN PUSTAKA......................................................................      13
2.1  Gaya Kepemimpinan .........................................................................      13
2.1.1   Pengertian Gaya Kepemimpinan ..............................................      13
2.1.2   Macam-Macam Gaya Kepemimpinan.......................................      15
2.1.3   Indikator Gaya Kepemimpinan.................................................      23
2.2  Kabinet ..............................................................................................      25
2.2.1   Macam-Macam Kabinet ...........................................................      26
2.3  Sistem Pemerintahan Indonesia ........................................................      28
2.3.1   Pokok – Pokok Sistem Pemerintahan ......................................      29
2.3.2   Kelebihan dan Kekurangan Sistem Presidensil ........................      32
2.4  Kerangka Pikir ...................................................................................      34
BAB III METODE PENELITIAN............................................................      36
3.1  Jenis Penelitian ..................................................................................      36
3.2  Lokasi Penelitian ...............................................................................      37
3.3  Desain Penelitian ...............................................................................      38
3.3.1        Definisi Konsepsional ...........................................................      39
3.3.2        Definisi Operasional ..............................................................      40
3.4  Instrumen Penelitian ..........................................................................      40
3.5  Teknik Pengumpulan Data ................................................................      41
3.5.1   Membaca ..................................................................................      42
3.5.2   Mengutip Informasi .................................................................      42
3.6  Sumber Data ......................................................................................      43
3.7  Tahap-Tahap Analisis Data ...............................................................      44
3.7.1   Analisis Pada Waktu Pengumpulan Data ................................      44
3.7.2   Analisis Setelah Pengumpulan Data ........................................      45
3.8  Objek Penelitian ................................................................................      46
3.9  Metode Analisis Data ........................................................................      47
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................      50













DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I Sebelum
Reshulfe .........................................................................................      12
Tabel 2. Jumlah Menteri Kabinet Kerja Sebelum Reshulfe ..........................      12

Tabel 3. Sistem Pemerintahan yang Pernah Diterapkan di Indonesia ..........      26




































DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran  1. Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara Nasional Pemilu 2004 dan Jumlah Perolehan Kursi Parpol di DPR RI.
Lampiran 2. Hasil Rekapitulasi Perolehan Suara Nasional Pemilu 2014 Dan Jumlah Perolehan Kursi Parpol di DPR RI
Lampiran 3. Fraksi-fraksi dan Jumlah Anggota di DPR Periode 2004-2009  
Lampiran 4. Fraksi-fraksi dan Jumlah Anggota di DPR Periode 2014-2019
Lampiran 5. Daftar Partai Pendukung, Oposisi dan Partai Netral Pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (sebelum resulfhe)
Lampiran 6.  Daftar Partai Pendukung, Oposisi dan Partai Poros Tengah (Abstein)  Pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (sebelum Resulfhe)
Lampiran 7.  Jumlah Menteri dan Pejabat Setingkat Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I  (Sebelum Reshulfe)
Lampiran 8. Susunan Menteri Kabinet Kerja  (Sebelum Resulfhe)
















BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sejak kemerdekaan negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah dipimpin oleh tujuh orang presiden. Dari ketujuh presiden tersebut memiliki sejarah dan latar belakang yang berbeda-beda yakni “politisi murni, militer, ulama dan pengusaha”, sehingga gaya kepemimpinan masing-masing presiden berbeda-beda. Gaya kepemimpinan seorang presiden akan sangat berpengaruh dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Selama lebih dari 32 tahun negeri ini telah dirasuki gaya kepemimpinan berlatar belakang militer sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa pemimpinan yang berlatar belakang militer yang akan lebih pantas untuk memimpin Indonesia. Oleh karena itu, kepemimpinan militer dijadikan prioritas utama dan ditempatkan pada level nasional menyadari bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu mengendalikan dan mengatasi krisis, maka diperlukan integritas dan kepekaan (sense of crisis) dalam rangka mengambil keputusan yang arif, cepat dan tepat. Dalam kepemimpinan militer dari sejak zaman Soeharto masyarakat aman tidak ada mengeluh baik dari segi ekonomi maupun lainnya sampai sekarang termasuk berhasil, bahwa kepemimpinan militer terkenal dengan kedisiplinan, baik dari segi sikap maupun dari ketegasannya. Sedangkan pemimpin berlatar belakang sipil diragukan kedepannya, karena begitu kuatnya kepemimpinan berlatar belakang militer dibalik kebijakan dan keputusan yang diambil pemerintah yang berkuasa dan atas dasar pertimbangan stabilitas dan kemampuan menangani cepat tanpa kegaduhan.
Menurut Arief Moctarom (2010) kepemimpinan adalah “Leadership is the ability to influence a group toward the achievement of goals”, yang berarti bahwa pemimpin memiliki kemampuan untuk mempengaruhi suatu group kearah suatu tujuan yang ingin dicapai. Dalam kepemimpinan Sipil tidak seperti militer yang telah didoktrin pada saat pembentukan, sedangkan sipil tidak melaui fase itu, sehingga mereka kurang patuh, loyal dan disiplin dibanding militer. Perlunya seni yang baik untuk memimpin di kalangan sipil.[1]
Lebih lanjut Juanda Wijaya (2006) mengatakan bahwa kepemimpinan sipil: (1) tidak tegas, (2) tidak memiliki kewibawaan dalam menentukan langkah-langkah strategis di bidang pemerintahan dan (3) Tidak mampu bertahan dalam tekanan. Sedangkan kepemimpinan militer (1) tegas, berwibawa dan memiliki akses langsung di bidang pertahanan keamanan; (2) Mampu mengambil langkah – langkah strategis di saat krisis; dan (3) Mementingkan martabat negara daripada menjalin hubungan diplomatis dengan negara lain.[2]
Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih dari tantangan untuk menghadapi musuh, sedangkan ciri-ciri militer sendiri mempunyai organisasi teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi, mentaati hukum yang berlaku dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak dimiliki atau dipenuhi, maka itu bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan bersenjata (Faisal Salam, 2006; 13).[3]
Sedangkan Wahab Ramadhan mengatakan bahwa pemimpin dari kalangan militer lebih mengutamakan kecepatan pengambilan keputusan, keputusan diambil oleh pucuk pimpinan tertinggi, sedangkan yang lainnya mengikuti keputusan itu sebagai perintah yang wajib diikuti konsekuensi rantai komando dalam militer. Pemimpin sipil selalu menggunakan gaya sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan pemimpin berlatar belakang militer selalu mengandalkan gaya militer yang sarat dengan disiplin dan kental dengan ketentaraman.[4]
 Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo sama-sama pemimpin negara alias presiden. Dua-duanya punya kewenangan untuk mengatur lembaga dan institusi yang dibawahinya. Namun ada perbedaan mencolok terkait gaya kepemimpinan keduanya. Susilo Bambang Yudhoyono cenderung mengandalkan kemampuan bawahannya, mendorong mereka agar bekerja secara maksimal. Sementara Joko Widodo tipe pejuang (fighter) yang langsung turun ke lapangan menyelesaikan persoalan. Namun sebelum terjun ke lapangan, yang biasanya ditemani bawahannya, ia memegang data ihwal persoalan daerah yang dikunjunginya.
Namun lain pemimpin berarti lain juga gaya kepemimpinannya. Itulah yang bisa kita lihat dari gaya presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyusun dan memilih para menteri untuk masuk ke dalam kabinet yang diberikan nama ‘Kabinet Indonsia Bersatu (KIB) Jilid I.[5]
Tentu saja hal ini berbeda dengan pilihan menteri era Joko Widodo. Mulai dari gaya pelantikan hingga pemilihan, jelas terlihat perbedaan kental menteri pilihan di era Susilo Bambang Yudhoyono dan era Joko Widodo.[6]
Hal lain yang kontras dari keduanya, Susilo Bambang Yudhoyono berlatar belakang militer, Joko Widodo dari sipil. Untuk meraih kursi presiden, Susilo Bambang Yudhoyono harus mendirikan partai sendiri berbekal popularitas yang melonjak karena citra  dizalimi oleh rezim incumbent, sedangkan Joko Widodo berkat kebijakannya yang populis di level bawah, dipromosikan oleh partai yang memiliki memiliki basis massa kuat. Yang paling membedakan adalah gaya keduanya dalam memimpin. Susilo Bambang Yudhoyono berkarakter perfeksionis, ingin selalu menjaga penampilan, baik dalam berbusana dan bertutur-kata. Saking hati-hati, presiden yang satu ini kerap dikritik lambat dalam mengambil keputusan. Adapun Joko Widodo cenderung mengalir, apa adanya, spontan, bergaya koboi. Ibarat kata, “pukul dulu, urusan belakangan”. Perfeksionisme  Susilo Bambang Yudhoyono juga tercermin dalam penyusunan kabinet. Sebelum memastikan orang-orang yang akan duduk di kabinetnya, Susilo Bambang Yudhoyono memanggil satu per satu calon menteri ke kediamannya di Cikeas, Bogor untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Sebuah mimbar lengkap dengan standing mike serta ruang tunggu bagi wartawan peliput disiapkan. Lalu, sebelum calon menteri dilantik, dilakukan penandatanganan kontrak politik. Joko Widodo, meskipun dalam proses penjaringan mempercayakan kepada tim ahli yang disebut sebagai Tim Transisi, calon menteri terpilih hanya diundang ke Istana untuk diajak bertukar pikiran mengenai bidang yang akan dipercayakan kepada mereka.[7]
Perbedaan antara  Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dalam penentuan komposisi kabinet antara lain sebagai berikut: Era Susilo Bambang Yudhoyono (1) Orang-orang partai pendukung yang menjadi menterinya; (2) Penempatan Menteri tidak sesuai dengan bidang masing-masing kandidat; (3) Menterinya banyak sekali yang di bully contohnya saja, Roy Suryo yang salah menyanyikan lirik lagu Indonesia raya, dan juga Tifatul sembiring; (4) Ada Menteri yang terlibat aksi pemerasan, Jero Wacik; (5) Salah satu Menteri yang dipilih untuk duduk di Departemen Agama Islam ternyata melakukan korupsi dana haji, yaitu Surya Dharma Ali; dan (6) Perombakan kabinet yang sangat tidak signifikan[8]. Sedangkan Era Joko Widodo: (1) Profil sejumlah Kabinet Joko Widodo-JK sangat mendukung, karena dihiasi direktur BUMN, akademisi, dan profesional dipilih untuk posisi-posisi tertentu; (2) Bidang ekonomi ditempatkan menteri-menteri yang cukup bagus, contohnya Sofyan Djalil pernah menjabat menteri BUMN periode  Susilo Bambang Yudhoyono, lalu Kemenkeu Bambang Brodjonegoro sebelumnya diposisi WaMenKeu; (3) Joko Widodo melibatkan KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menyeleksi para menterinya. Sesuatu yang baru yang patut dipertahankan; (4) Sejumlah figur yang semula sempat masuk bursa calon menteri, akhirnya terpental gara-gara ditandai stabilo merah KPK; (5) Memberikan cukup banyak kepercayaan kepada perempuan (8 orang) untuk menangani sejumlah departemen; (6) Presiden Joko Widodo memacu anggota kabinetnya untuk bekerja…bekerja…dan bekerja. (7) Banyak pengusaha dan orang berlatar belakang biasa dengan pendidikan rendah juga diangkat menjadi Menteri.[9]
Sementara dalam hubungan dengan partai politik, Partai Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat) diperlakukan sebagai penyambung lidahnya, sebaliknya Joko Widodo diperlakukan partainya (PDIP) sebagai penyambung lidah partai. Susilo Bambang Yudhoyono sering menggunakan waktu kerjanya untuk membicarakan partainya, sebaliknya Joko Widodo tidak mau membicarakan partainya di waktu kerjanya tetapi sering berkampanye atau mendukung kampanye di hari liburnya.[10]
Sedangkan dalam hal pengambilan keputusan  Susilo Bambang Yudhoyono “Fikirkan Dulu, Laksanakan Kemudian”, sebaliknya Joko Widodo “Laksanakan Dulu, Fikirkan Masalah Yang Timbul Kemudian”.  Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar belakang militer ternyata tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat, keputusan-keputusan yang menurunkan citranya baru dibuat setelah didemo dan dihujat kiri kanan. Sebaliknya Joko Widodo dapat mengambil keputusan dengan sangat cepat (bisa dikatakan kelewat berani) yang kadang-kadang jadi bulan-bulannya lawan-lawan politiknya.[11]
Selanjutnya dalam hal pengambilan keputusan, Susilo Bambang Yudhoyono lebih memanjakan rakyat dengan janji-janjinya dan Joko Widodo berani ambil resiko dalam setiap keputusannya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yuniarto bahwa:
Joko Widodo Berani Ambil Risiko, Susilo Bambang Yudhoyono Lebih Suka Manjakan Rakyat”. "Apa yang dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono itu memanjakan masyarakat. Dia mengambil keputusan untuk berada di zona nyaman," sedangkan Joko Widodo Presiden Joko Widodo selama ini memang tidak populer dan berisiko terhadap citra dirinya di mata masyarakat.[12]

Apabila ditinjau dari segi latar belakang, Susilo Bambang Yudhoyono berasal dari kalangan militer sedangkan Joko Widodo adalah berlatar masyarakat sipil (civil society) yang berprofesi sebagai pengusaha. Latar belakang seseorang sangat dipengaruhi   “sosio cultural, religious, di mana tokoh itu dibesarkan, bagaimana proses pendidikan intelektualnya, watak orang yang ada disekitarnya dan lain sebagainya serta “sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide dari tokoh, serta pembentukan watak seseorang.
Pembawaan Susilo Bambang Yudhoyono, karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara karir, tampak agak formal. Kaum ibu tertarik kepada Susilo Bambang Yudhoyono karena ia santun dalam setiap penampilan dan apik pula berbusana. Penampilan semacam ini meningkatkan citra Susilo Bambang Yudhoyono di mata masyarakat. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin yang mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun. Sangat jauh dari anggapan sementara kalangan yang menyebut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai figur peragu, lambat, dan tidak "decisive" (tegas). Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.[13]
Sedangkan Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo disimboli dengan sebuah penyebutan nama kabinet yang tak biasa, yaitu Kabinet Kerja, sebuah pilihan kata yang sederhana namun menunjukkan komitmen kuat pemerintah dalam melayani rakyat dan bersungguh-sungguh melakukan perubahan. Seolah juga, Kabinet Kerja merupakan antitesis dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak hanya pilihan nama kabinet yang beda, melainkan juga penampilan fisik para pejabatnya juga berbeda. Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para menterinya kerap mengenakan pakaian kemeja tenun serta safari lengan pendek, maka Presiden Joko Widodo dan para menteri tampil dengan kemeja putih dengan tangan panjang terlipat dan baju dikeluarkan. Pakaian kemeja demikian tidak identik dengan pakaian pejabat, melainkan pakaian pekerja biasa jauh dari kesan mewah. Spirit itu yang tampaknya ingin diperkuat oleh Presiden Joko Widodo yang notabene sudah mempunyai citra kuat sebagai pelaku blusukan. Persepsi Joko Widodo sebagai pejabat negara yang gemar turun ke masyarakat tempak hendak ditularkan kepada Kabinet Kerja melaui penampilan simbol-simbol nama kabinet dan pilihan pakaian para menteri. Spirit kerja dan blusukan ditampilkan oleh pemerintahan Joko Widodo melalui penyusunan agenda kerja di bulan pertama.[14]
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini menciptakan tradisi baru pelantikan para menteri yang tergabung dalam Kabinet Kerja 2014-2019, yaitu dengan menggunakan baju batik. Bahkan sebelumnya saat pengumuman nama-nama menteri, Joko Widodo mengharuskan para pembantunya memakai baju dan celana putih di halaman Istana Negara, Jakarta. Tradisi ini baru pertama kali dalam sejarah pelantikan kabinet dari zaman Presiden Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono, yang umumnya menggunakan stelan jas rapi. Tidaklah mengherankan dengan gaya kepemimpinan Joko Widodo yang khas itu.[15]
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak terjadi perpecahan koalisi kepartaian di parlemen. Walaupun Susilo Bambang Yudhoyono adalah Ketua Partai Demokrat, namun mampu mengawasi semua partai yang berkoalisi dalam pemerintahanya di parlemen. Sedangkan pada awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, terbentuk dua kubu koalisi di Indonesia, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sedangkan Aspek politik selama 100 hari pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berjalan kondusif dan tidak terjadi kegaduhan apapun. Sementara itu pada 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo terjadi kegaduhan politik, seperti terbelahnya parlemen dan perpecahan partai. Namun pada akhirnya Joko Widodo berhasil mempertahankan terjalinnya komunikasi politik dengan parlemen, bahkan ada kecenderungan positif KMP mulai mengurangi tekanan-tekanan politiknya seiring dengan misi pemerintahan Joko Widodo-JK untuk menyejahterakan masyarakat berjalan pada rel yang benar dan dinilai baik oleh KMP.[16]
Dalam konteks koalisi di parlemen Susilo Bambang Yudhoyono tidak hanya meragkul partai pendukungnya pada awal Pilpres namun Susilo Bambang Yudhoyono melibatkan hampir semua fraksi DPR terdiri dari 7 fraksi (Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, F-PPP, F-PAN, F-PKB, F-PKS, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi) dengan jumlah 414 kursi, dengan maksud untuk memuluskan kebijakan-kebijakannya namun tetap Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu mengawasi partai-partai tersebut. Sedangkan partai oposisi hanya PDI Perjuangan dengan jumlah 109 kursi dan dua partai lainnya yaitu PDS 13 kursi dan PBR 14 kursi justru memilih untuk tidak masuk dalam partai koalisi maupun partai oposisi.
Sementara Joko Widodo tetap pada koalisi awal sejak Pilpres yaitu yang dikenal dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) Joko Widodo – Jk terdiri dari PDI Perjuangan, PKB, Partai NASDEM, Partai Hanura dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dengan jumlah kursi di DPR berjumlah 246 kursi di DPR sedangkan partai oposisi terdiri dari Partai GERINDRA, PAN, PKS, Partai Golkar 253 kursi.
Dalam proses penentuan komposisi susunan kabinet, presiden memiliki hak prerogratif untuk mengangkat dan memberhentikan siapa saja yang menjadi menterinya, sebagaimana telah diatur dalam pasal 17 ayat (2) UUD 1945 bahwa: Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri ini sebagai pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden bukan kepada DPR atau MPR. Presidenlah yang mempertanggungjawabkan segala tindakan pemerintah kepada MPR.
Dalam sistem presidensial, penyusunan kabinet adalah hak prerogratif presiden. Namun, teori dan praktik sering kali berbeda jalan. Faktanya, kabinet tidak hanya bersandar pada hak prerogratif, namun juga tergantung pada kompromi dan akomodasi politik. Justru masalah kompromi inilah yang lebih dominan mewarnai penyusunan kabinet. Dominasi tersebut semakin terang-benderang apabila sistem presidensial berdiri di atas sistem multi partai. Dalam kondisi demikian, sering terjadi presiden terpilih tidak menguasai mayoritas suara di parlemen. Hadirlah presiden minoritas, lahirlah pemerintahan terbelah yaitu pemerintahan yang agenda politik eksekutifnya berseberangan jalan dengan mayoritas aspirasi politik di legislatif.
Seperti dikemukakan Scott Mainwaring dalam M. Yasin al-Arif (2015), pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis. Hal itu terjadi jika presiden terpilih tak berasal dari partai politik yang memperoleh kekuatan mayoritas di lembaga legislatif. Untuk mendapat dukungan di lembaga legislatif, presiden berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan merangkul sejumlah partai politik. Cara paling umum yang dilakukan presiden: membagikan posisi menteri kabinet kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden.
Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis terdorong untuk melakukan Penulisan dengan judul “ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DENGAN JOKO WIDODO DALAM PENYUSUNAN KABINET”.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam Penulisan adalah: “bagaimana gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam menentukan kabinet kerjanya?
1.3  Tujuan Penulisan
Tujuan dalam Penulisan ini adalah untuk mengetahui gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam menentukan kabinet kerjanya.
1.4  Manfaat Peneltian
1.4.1     Manfaat Akademis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Timor maupun universitas lain yang melakukan Penulisan lebih lanjut.
1.4.2     Manfaat Praktis
1.      Penulisan diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada presiden-presiden RI yang akan datang.
2.      Sebagai bahan informasi untuk masyarakat Indonesia.



















BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1  Teori Kepemimpinan
2.1.1     Konsep dan Pengertian Kepmimpinan
Kepemimpinan adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan upaya untuk menciptakan cara agar rakyat dapat berkontribusi dalam pencapaian sesuatu hasil yang lebih baik. (Alan Keit, Lucas Digitasl)

Kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah di
observasi tetapi menjadi salah satu hal yang paling sulit dipahami. (RichardL. Draft, 1999)

Dua kutipan di atas, dapat dimaknai kepemimpinan merupakan suatu masalah yang sulit karena ia sangat kompleks, terkait sifat dasar kepemimpinan itu sendiri mamang sangat rumit dan kompleks (Eko Maulana Ali, 2013: 15).[17]
Selanjutnya James M. Black dalam bukunya Management, A Guide to Executive Command menyatakan: Leadership is capability of persuading others to work together under their direction as a team to accomplish certain designed objectives (kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai atau melakukan suatu tujuan tertentu) (James M. Black dalam Eko Maulana Ali, 2013: 15).[18]
Lebih lanjut menurut Sarros dan Butchatsky (1996), leadership as the purposeful behavior of influencing others to contributed to a commonly agreed goal for the benefit of individuals as well as the organization of common good. Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi, (Sarros dan Butchatsky dalam Eko Maulana Ali, 2013: 15).[19]
Jadi menurut hemat Penulis, kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dan siap bekerja sama dalam sebuah tim yang demi mencapai tujuan pemimpin maupun tujuan sebuah organisasi.
Sedangkan menurut Eko Maulana Ali (2013: 16) mengatakan bahwa:
“Pemimpinan sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya”.[20]

Jadi pada dasarnya istilah pemimpin, kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin. Tetapi ketiga kata ini digunakan dalam konteks yang berbeda tergantung situasi dan kondisi dan istilah kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan keterampilan (skill), kecakapan, dan tingkat pengaruh seorang pemimpin (Eko Maulana Ali, 2013: 15).[21]
Selanjutnya Eko Maulana Ali, (2013: 23) mengatakan bahwa: dalam mempelajari masalah yang berkaitan dengan teori kepemimpinan, para pakar umunya menggunakan variabel-variabel kunci yang terdiri dari tiga karakteristik utama, yaitu (1) karakteristik pemimpin, karakteristik pengikut dan karakteristik situasi. Sedangkan untuk melakukan Penulisan teoritis dan empiris tentang kepemimpinan, dapat dapat dilakukan melalui 5 pendekatan, yaitu:
1)   Traits Aproach (pendekatan karakter ataau sifat): pendekatan ini menekankan pada karakter pemimpin seperti alasan (motif) kepribadian (personality) nilai (value), dan keahlian (skill).
2)   Behavior Aproach (pendekatan perilaku): lebih menekankan pada bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan konflik kepentingan dalam kelompok atau organisasinya, memperhatikan kehendak kelompok atau organisasi, memanfaatkan kesempatan dan mengatasi kekurangan-kekurangan.
3)   Powe influence Approach (pendekatan pengaruh kekuatan): lebih menekankan pada peran sentral pemimpin dalam menggunakan wewenangnya untuk mempengaruhi pengikutnya.
4)   Situational Approach (pendekatan bergantung pada situasi): lebih menekankan pada faktor-faktor kontkstual yang mempengaruhi proses kepemimpinan. Variabel utamanya adalah karakteristik pengikut, kondisi pekerjaan yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin unit, tipe organisasi, dan kondisi lingkungan eksternal.
5)   Integrative Approach, teori ini memadukan sejumlah teori yang ada, diantaranya: teori pembawaan (traits), perilaku (behavior) dan kontijensi. Melalui pendekatan integratif ini, model kepemimpinan ini berusaha menjelaskan kesuksesan dan pengaruh hubungan antara pemimpin dan pengikut.[22]

2.1.2     Pendekatan dan Perspektif Teori Kepemimpinan
Menurut Eko Maulana Ali, (2013: 33) kepemimpinan dapat dikaji dari tiga sudut pandang, yakni: (1) pendekatan sifat (traits approach); (2) pendekatan gaya (style approach): dan (3) pendekatan kontijensi (contingency approach).[23]
Penggolongan tersebut tidak lepas dari dinamika atau perkembangan dan sejarah teori kepemimpinan, tidak berarti teori yang disebut terakhir adalah sebuah pendekatan yang lebih maju, apalagi jika dianggap lebih tepat dibandingkan dengan pendekatan yang disebut sebelumnya masing-masing pendekatan itu hingga kini masih dipakai sebagai acuan teoritis dan relevan digunakan sebagai titik tolak dalam melihat model atau karakteristik kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang atau beberapa pemimpinan dalam sebuah organisasi, (Eko Maulana Ali, 2013: 33).[24]
Jadi dari teori dan pendekatan-pendekatan di atas, maka yang digunakan Penulis dalam tulisan ini adalah Pendekatan Gaya (Style Approach).

2.1.3     Model dan Gaya Kepemimpinan
Perilaku pemimpinan sering disebut juga gaya kepemimpinan (Style of Leadership) dengan demikian, gaya kepemimpinan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan seseorang pemimpinan dalam mempengaruhi perilaku bawahannya dalam pencapaian tujuan yang diinginkan, (Eko Maulana Ali, 2013: 36).
Lebih lanjutnya menurut Eko Maulana Ali, (2013: 36) mengatakan bahwa istilah gaya secara sederhana adalah sama dengan cara yang digunakan pemimpin dalam mempengaruhi bawahan atau pengikutnya. Sedangkan menurut Toha dalam Eko Maulana Ali, 2013: 36) mengatakan bahwa:
“Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain”.[25]

Setiap pemimpin bisa mempunyai gaya kepemimpinan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Di antara gaya kepemimpinan yang diterapkan tidak otomatis berarti gaya kepemimpinan yang satu dengan yang satu lebih baik atau lebih jelek dari pada gaya kepemimpinan yang lainnya. Dalam konteks upaya mencapai tujuan, model, dan gaya kepemimpinan yang satu bisa lebih efektif dan efisien dalam kasus tertentu, (Eko Maulana Ali, 2013: 37).
Selanjutnya Siagin dalam Eko Maulana Ali, (2013: 37) mengatakan bahwa:
“gaya kepemimpinan seseorang adalah identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan. Gaya kepmimpinan seorang pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan keperibadian yang unik khas hingga tingkah lakudaan gaya yang membedakan dirinya dengan orang lain”.

Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Kartini Kartono (2008: 34) menyatakan sebagai berikut:[26]
1.      Sifat
Sifat seorang pemimpin sangat berpengaruh dalam gaya kepemimpinan untuk menentukan keberhasilannya menjadi seorang pemimpin yang berhasil, serta ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya.
2.      Kebiasaan
Kebiasaan memegang peranan utama dalam gaya kepemimpinan sebagai penentu pergerakan perilaku seorang pemimpin yang menggambarkan segala tindakan yang dilakukan sebagai pemimpin baik.

3.      Tempramen
Temperamen adalah gaya perilaku seorang pemimpin dan cara khasnya dalam memberi tanggapan dalam berinteraksi dengan orang lain. Beberapa pemimpin bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya tenang. Deskripsi ini menunjukkan adanya variasi temperamen.
4.      Watak
Watak seorang pemimpin yang lebih subjektif dapat menjadi penentu bagi keunggulan seorang pemimpin dalam mempengaruhi keyakinan (determination), ketekunan (persistence), daya tahan (endurance), keberanian (courage).
5.      Kepribadian
Kepribadian seorang pemimpin menentukan keberhasilannya yang ditentukan oleh sifat-sifat / karakteristik keperibadian yang dimilikinya.

Selanjutnya menurut Rivai (2012) dalam Eko Maulana Ali (2013: 38) ada tiga macam gaya kepemimpinan yang mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai, yaitu:[27]
1)      Gaya kepemipinan otoriter
Gaya kepemimpinan ini menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi.

2)      Gaya kepemimpinan demokratis
Gaya kepemimpinan ini ditandai oleh adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri.

3)      Gaya kepmimpinan bebas kendali (Laizes Faire)
Gaya kepemimpinan ini memberikan kekuasaan penuh pada bawahan, struktur organisasi bersifat longgar; pemimpin bersifat pasif. Peran utama pemimpin adalah penyediaan materi pendukung dan berpartisipasi jika diminta bawahaan.

Selanjutnya Eko Maulana Ali (2013: 43) mengatakan bahwa tipikal kepemimpinan dapat juga diklasifikasikan sesuai dengan pendekatan karakter dan perilaku pemimpin, sebagai berikut:[28]
1)      Kepemimpinan Viosioner
Dengan membawa perasaan atau emosi masyarakat atau bawahannya ke arah mimpi – mimpi terhadap masa depan organisasi yang ia pimpin, pemimpin visioner memiliki pengaruh yang sangat positif sekali (most strongly positive) dalam lingkungan atau pekerjaannya.
2)      Kepemimpinan Pelatihan dan Pembimbingan
Seorang pemimpin tipikal pelatihan dan pembimbingan (Training and coaching), membangun resonansi dengan memberikan pelatihan dan bimbingan kepada yang dipimpin agar dapat bekerja secara efektif dan efisien.
3)      Kepemimpinan Afiliatif
Seorang pemimpin tipikal afiliatif (affiliative) membangunan resonansi (penguatan) dengan cara menciptakan hubungan yang harmonis dan menyatu dengan masyarakat atau bawahan.
4)      Kepemimpinan Demokratis
Seorang pemimpin dengan tipikal demokratis, membangun resonansi (penguatan) dengan cara memberikan kebebasan kepada masyarakat atau bawahannya aatau audien untuk mengemukakan kehendaknya dan tujuan yang hendak dicapai secara bebas.
5)      Kepemimpinan komando
Kepemimpinan tipikal komando membangun resonansi dengan suatu perintah yang tegas dan jelas tanpa diberikan kesempatan kepada yang dipimpin untuk berpikir analitis.
6)      Kepemimpinan Pacesetting
Seorang pemimpin penentu kecepatan (pacesetting), memimpin pengikutnya untuk mengikuti aturan-aturan, kemampuan yang ada dan melaksanakan upaya – upaya pencapain tujuan yang telah disepakati atau yang telah ditetapkan. Seperti seorang pemimpin di tataran teknis suatu birokrasi, memimpin bawahannya untuk melaksanakan tugas – tugas yang telah ditentukan, dan lain sebagainya.

Dari tipikal-tipikal kepemimpinan di atas, tipikal kepemimpinan yang paling baik sangat tergantung kepada konteks, situasi dan kondisi.
Selanjutnya menurut Eko Maulana Ali, (2013: 46) Ia membagi tipikal kepemimpinan didasarkan pada bagaimana pemimpin memecahkan persoalan organisasi, yaitu:
1)      Kepemimpinan yang terfokus (focused leadership), segala kegiatan yang ditujukan untuk menarik perhatian para pengikut, pada isu-isu penting.
2)      Kepemimpinan yang komunikatif (communication leadership), yaitu dengan menggunakan kemampuan komunikasi secara efektif, termasuk secara aktif mendengarkan saran dari pengikut (bawahan) sebagai umpan balik untuk mendapatkan gagasan-gagasan yang konstruktif.
3)      Kepemimpinan yang dipercayai (trust leadership) perilaku pemimpin yang dapat menumbuhkan kepercayaan, dan konsiten dalam tindak tanduknya serta menepati janji. Terbangunnya kepercayaan dapat disebabkan oleh dua hal: (a) konsisten dalam sikap dan perilaku; (b) kredibilitas, yaitu kepercayaan yang dibangun berdasarkan suatu sikap one do what one says one ill do.
4)      Kepemimpinan yang dihormati (respectful leadership), yaitu keegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang memperlihatkan perhatian dan kasih saying kepada yang dipimpin, seperti memberikan penghargaan atas prestasi yang ddicapai oleh pengikutnya.
5)      Kepemimpinan Risiko (risk leadership), yaitu pemimpin yang berani mengambil resiko untuk melibatkan dan memberikan tanggung jawab yang besar kepada pengikutnya (bawahannya) guna melaksanakan kegiatan-kegiatan yang didesain oleh pemimpin, dengan maksud untuk menumbuhkan komitmen yang kuat dalam pencapaian tujuan organisasi.[29]


2.2  Model Kepemimpinan Transaksional
2.2.1     Kepemimpinan Transaksional: Things Done Right
Secara sederhana model kepemimpinan transaksional didefinisikan sebagai suatu transaksi, antara pemimpinan yang dianggap sebagai bos dan pengikut atau pembantunya. Hubungan kerja antara pemimpin dengan yang dipimpin didasarkan kepada suatu proses barter yang didahului dengan kesepakatan kerja yang saling menguntungan (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[30]
Selanjutnya Burns dalam Eko Maulana Ali (2013: 46) mengatakan bahwa:
“Tipikal kepemimpinan seperti ini sebagai kepemimpinan transaksional (Transactional Ledearship)” yang menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk mencapai tujuan organisasi melalui upaya orang lain sebagai kaki tangannya. [31]

Jadi menurut Penulis bahwa kepemimpinan transaksional selalu didahuluai dengan kesepatakan atau kontrak politik guna saling menguntungan baik individu dan kelompok maupun organisasi. Dalam hal ini, adanya pembagian jabatan dengan maksud untuk saling mendukung dalam setiap kebijakan yang di tawarkan oleh pemimpin didasarkan pada kontrak politik yang sudah disepakati.
Pendekatan manajemen yang efektif seperti ini, yang meletakan pemikiran Things done right (segala sesuatu dikerjakan dengan benar), tetapi tidak selalu menjamin tercapainya the right get done (segala sesuatu yang benar dikerjakan). Para pendukung diharapkan untuk saling mendukung dalam setiap kebijakan yang ditawarkan oleh pemimpin sehingga adanya Things done right (segala sesuatu dikerjakan dengan benar), tetapi tidak selalu menjamin tercapainya the right get done (segala sesuatu yang benar dikerjakan) (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[32]
2.2.2     Kepemimpinan Transaksional: Sering Disalahmengerti
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang memiliki heterogenitas sosial, budaya ekonomi yang tinggi model kepemimpinan transaksional dianggap lebih tepat untuk diterapkan dalam dunia perpolitikan ditanah air. Pada suatu kasus tertentu masih saja ditemui bahwa model kepemimpinan transaksional jauh lebih efektif dalam upaya mencapai tujuan organisasi pemerintahan. Model ini masih dirasakan sebagai sesuatu tepat dibandingkan model kepimimpinan transformasional yang dianggap lebih kompatibel dengan sistem sosial politik demikratis ternyata tidak semua berhasil dilaksanakan dengan mulus (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[33]
Model kepemimpinan transaksional cenderung dipersepsi ‘negatif’ terutama jika dikaitkan dengan sejumlah kasus negatif yang muncul ketika sebuah kebijakan publik diambil berdasarkan pertimbangan transaksional atau jual beli. Lagi pula sampai sekarang pada kenyataanya masih banyak diterapkan model kepemipinan transaksional dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, bahkan dalam beberapa kasus model kepemimpinan transaksional didasari pada logika untung-rugi, prinsip memberi dan menerima, saling mendukung dalam setiap momen pesta demokrasi baik Pilkada maupun Pemilihan Presiden masih diwarnai dengan dukung mendukung dan terjadilah saling berbagi jabatan (Eko Maulana Ali, 2013: 46).[34]
2.2.3     Konsep dan Pengertian Kepemimpinan Transaksional
Menurut Eko Maulana Ali (2013: 55) kepemimpinan transaksional merupakan salah satu gaya kepemimpinna yang intinya menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Selanjutnya Burns dalam Eko Maulana Ali (2013: 55) mengemukakan bahwa:
“Kepemimpinan transaksional dicirikan dengan perancangan tujuan-tujuan tugas, penyediaan sumber daya untuk mencapai tujuaan – tujuan tersbut, dan penghargaan terhadap kinerja”.[35]

Jadi pada dasarnya kepemimpinan transaksional merupakan suatu  serangkan tawar menawar diantara kedua pihak atau lebih dalam hal ini Gibson, Ivancevich, dan Donelly (2000) dalam Eko Maulana Ali, (2013: 55) menambahkan, bahwa kepemimpinan transaksional akan menyesuaikan berbagai tujuan, arah, dan misi dengan alasan praktis.[36]
Alasan ini mendorong Pawar dan Eastraman (1997) untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas jika bawahannya mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik., Pawar dan Eastraman dalam Eko Maulana Ali, (2013: 55).[37]
Jadi menurut hemat Penulis kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan didasari dengan tawar-menawar jabatan apabila siap untuk bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan yang hendaknya dicapai.
Sedangkan menurut Ibnu Subianto (2014: 41) mengatakan bahwa:
“sifat transaksional yang sering terjadi dalam berbagai pemilihan umum di negeri ini telah menjadikan rakyat dan para pemimpin punya pemahaman yang kata ajaib demokrasi. Konsekuensi pendekatan transaksional dalam pemilihan umum baik legislatif / eksekutif akan merusak sendi-sendi kehidupan sistem demokrasi itu sendiri yang pada akhirnya akan merusak tata kelola negara”.[38]

Selanjutnya Ibnu Subianto (2014: 41) mengatakan bahwa:
“Transaksi politik akan mendorong siapa saja untuk melakukan tindakan tak terpuji oleh tim pemenang maupun yang dikalahkan. Bagi si pemenang akan mencari dana illegal untuk menutup seluruh anggaran kemenangan memperoleh jabatan publik. “Ibaratnya, jabatan publik bagaikan barang dagangan ataupun asset yang dapat dikapitalisasi menjadi sebuah sumber keuangan. Sebaliknya bagi yang kalah akan berusaha mencari dana dengan cara apapun, yang apabila kalah akan melakukan tindakan untuk menggerogoti kekuasaan sang pemenang”. Dendam kesumat atas kekalahan akan tetap membara, dan akan menjadi pemicu tindakan – tindakan tak terpuji berikutnya”.[39]

Lebih lanjut Ibnu Subianto (2014: 41) meengatakan bahwa:
“Dalam pengambilan keputusan pun lagi amanah rakyat, tetapi pesanan kepentingan yang diikuti dengan transaksi kepentingan. Kekuasaan rakyat dianggap tidak ada kaitannya dengan apapun yang diputuskan oleh sang pemimpin. Para pemimpin transaksional menganggap, kewajiban dirinya pada pemilih sudah ditunaikan menjelang pemungutan suara, sehingga apa yang diputuskan terkait dengan rakyatnya, apalagi kekuasaan rakyat”.[40]

Hal inilah yang kemudian membuat roda peemerintahan berjalan kurang efektif karena sang pemimpin telah dibaluti dengan kepentingan orang-orang yang mengitarinya dari rakyatnya yang menantikan kebijakan-kebijakan dari sang pemimpin.
2.3  Model Kepemimpinan Transformasional
Pemimpin dengan karakter transfomatif memang sangat jarang ada di negeri, mereka adalah figur yang secara intelektual bisa memahami konsep-konsep demokrasi dengan utuh yang secara sadar menjadikannya basis kepemimpinan. Pemimpin transformatif bukan muncul tiba-tiba, atau dikampanyekan secara massif dimana-mana agar “dicitrakan” sebagai pemimpin yang baik dan kuat, tetapi karena ia punya sejarah panjang sebagai pemimpin yang mengerti dan memahami dirinya sebagai pemimpin, (Ibnu Suyanto, 2014: 43).[41]
2.4.1     Kepemimpinan Transfomsional
Teori – teori tentang kepemimpinan transformasional banyak dipengaruhi oleh pandangan James McGregor (1978) dalam Eko Maulana Ali, (2013: 95) bahwa:
“pemimpin transfomasional memunculkan nilai-nilai moral pengikutnya dalam upaya untuk meningkatkan keyakinannya tentang isu-isu etika dan memobilisasi energy sumber daya mereka guna mereformasi suatu institusi”.[42]
Eko Maulana Ali, (2013: 95) mengatakan bahwa:
“Berbeda dengan kepemimpinan transaksional (Transactional Leadership) yang memotivasi pengikutnya dengan mengetengahkan keinginan pribadi (self interest). Sebagai contoh pemimpinan pemimpin politik menawarkan lapangan kerja/jabatan publik, subsidi, dan bantuan-bantuan dan insentif adalah bagian dari kepemimpinan transaksional. Sedangkan kepemimpinan transformasional juga menawarkan nilai-nilai yang relevan untuk mengubah proses seperti kejujuran (honesty), keterbukaan (openness), tanggung jawab (responsibility) dan timbal balik (reciprocity)”.[43]

Selanjutnya menurut Bass dalam Eko Maulana Ali, (2013: 96) mengatakan bahwa:
“kepemimpinan transfomassional dan kepemimpinan transaksional adalah berbeda, tetapi dapat diterapkan secara bersama-sama. Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Model ini dianggap model terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin”.[44]

Pada prispinya, menurut Gibson, Ivancevich dan Donnelly dalam Eko Maulana Ali, (2013: 104) mengatakan bahwa:
“kepemimpinan transfomasional - jika dibandingkan dengan model kepemimpinan transaksional – membuat perubahan-perubahan besar pada: misi unit kerja atau organisasi atau unit kerja, cara-cara menjalankan kegiatan, dan manajemen sumber daya manusia untuk mencapai misi yang telah ditetapkan”.[45]

Selanjutnya menurut Bass dalam Eko Maulana Ali, (2013: 104) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional adalah:
“tipe pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk menyampingkan kepentingan pribadi mereka dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang luar biasa”. Aspek utama kepemimpinan transformational adalah penekanan pada pembangunan pengikut”.[46]

2.4.2     Definisi Kepemimpinan Transformasional
Istilah transfomasi secara etimologis berasal dari kata to transform yang bermakna mengubah sesuatu meenjadi bentuk lain yang berbeda. Ketika kedua kata ini digabungkan makna yang terkandung menjadi lebih luas daripada gabungan makna keduanya secara matematis.
Menurut Keller dalam dalam Eko Maulana Ali (2013: 106) mengemukakan bahwa:
“gaya kepemimpinan transfomasional adalah sebuah gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemenuhan terhadap tingkatan tertinggi dari hierarki Maslow yakni kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri”.[47]

Sementara menurut Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka demi kepentingan organisasi yang lebih besar.[48]
Sedangkan Yammarino dan Bass (1990) dalam Eko Maulana Ali (2013: 107) juga menyatakan bahwa:
“pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh perhatian pada perbedaan – perbdaan yang dimiliki bawahan”.[49]

Jadi dari beberapa definisi di atas, Penulis menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional memberikan wewenang sepenuhnya kepada bawahan untuk membuat kebijakan/keputusan atau memberikan kesempatan sepenuhnya kepada bawahan untuk mengaktualisasikan diri.
2.4.3     Model dan Karakteristik Kepemimpinan Transformasional
Menurut Eko Maulana Ali (2013: 109) mengatakan bahwa: konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (styll) dan kontijensi.[50]
Sedangkan Bass dalam Eko Maulana Ali (2013: 109) mengindikasikan ada tiga ciri-ciri kepemimpinan transformasional yaitu:
“kharismatik, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri kepemimpinan transformasional. Dan Perhatian pemimpin transformatif juga terkait dengan perbaikan kualitas moralitas dan motivasi dari bawahan yang dipimpinnya”.[51]

Sementara itu Gary Yulk dalam Leadership in Organization (1990), yang dikutip oleh Eko Maulana Ali (2013: 109-110), menyatakan bahwa karakter dari kepemimpinan transformasional antara lain sebagai berikut:
1.      Fokus kepemimpinan transformatif pertama-tama terarah pada kepentingannya. Disini animo utama dari pemimpin adalah perbaikan kondisi bawahan.
2.      Pemimpin transformatif berupaya untuk memberikan perhatian pada nilai-nilai etis. Artinya perhatian pemimpin transformatif juga terkait dengan perbaikan moralitas dan motivasi dari bawahan yang dipimpinnya. Dengan kata lain, pemimpin transformasional menyuarakan cita-cita dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, tanggung jawab, sosial lewat empati.
3.      Pemimpin transfomasi tidak menggurui, melainkan mengaktifkan para pengikut untuk melakukan inovasi-inovasi untuk bangkit dari keterpurukannya. Jadi pemimpin bukan penentu segalanya, melainkan pendamping dan partner bagi bawahannya.
4.      Kepemimpinan transformatif mengandung muatan stimulasi intelektual.
5.       Kepempinan transformatif menghidupkan dialog dalam strata sosial komuniksi politik sehat. Dialog ini mengandaikan adanya keterbukaan dan visi yang jelas dari seorang pemimpin.[52]

2.4.4     Kepemimpinan Transformasional Sebuah Kontinum
Apabila manajer transaksional hanya membuat penyesuain – penyusuaian kecil pada misi, struktur dan manajemen sumber daya manusia, maka pemimpim transformasional tidak sekedar membongkar ketiga bidang ini namun juga mendorong perubahan besar-besar pada sistem organisasi. Pembongkaran sistem inilah yang benar-benar membedakan pemimpin transformasional dengan transaksional. (Trichy dan Ulrich)[53]

Dari kutipan di atas, menurut Eko Maulana Ali (2013: 114) mengatakan bahwa:
“bukan hanya menunjukkan perbedaan antara model kepemimpinan transaksional, dengan model kepemimpinan transfomasional, ”tetapi lebih dari itu kedua model kepemimpinan itu dalam berbagai kajian sering dipertentangkan atau diperhadapkan seolah keduanya adalah model yang bertentangan secara diametral. Padahal secara teoritik dan konsepsional keduanya memiliki sejumlah ikatan yang membuatnya tidak terputus, memiliki ‘jembatan’ yang saling menghubungkan dan memiliki latar dan tujuan dan kepentingan yang sama.[54]

Jadi kedua model kepemimpinan ini mengandung sebuah unsur kepemimpinan yang baik dan telah teruji kelayakannya secara teoritik dan telah pula diimplemntasikan dalam berbagai kontek dan dalam kurun waktu tertentu.
2.5    Model Kepemimpinan Kharismatik
2.5.1     Definisi Kepemimpinan Kharismatik
Max Weber (1947) dalam Eko Maulana Ali (2013: 79) menggunakan istilah kharisma dalam menjelaskan bentuk dari suatu persepsi terhadap bawahan yang menjelaskan bahwa:
“pemimpin diberkahi oleh suatu kemampuan lebih”. Kharisma adalah kata dalam bahasa Yunani yang berarti berkat yang terinspirasi secara agung atau dengan bahasa lain yakni anugerah (grace). Kharisma adalah kemampuan yang luar biasa dan mistis.[55]

Selanjutnya menurut Eko Maulana Ali (2013: 80) mengatakan bahwa kharisma adalah:
“daya tarik seseorang yang tidak bisa dibeli dengan uang. Ia adalah energy yang tidak nampak akan tetapi efek atau pengaruhnya nyata, khususnya terhadap pengikut dan bawahan. Kharisma merupakan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan secara logika”.[56]

Lebih lanjut Truskie (2002) dalam Eko Maulana Ali (2013: 80) mengatakan bahwa:
“kharisma dianggap sebagai kombinasi dari pesona dan daya tarik pribadi yang berkontribusi terhadap kemampuan luar biasa untuk membuat orang lain mendukung visi dan juga mempromosikannya dengan bersemangat”.[57]

Sedangkan menurut Ivancevich, dkk, (2007: 209) dalam Eko Maulana Ali (2013: 80) pemimpin kharismatik adalah:
“pemimpin yang mewujudkan atmosfir motivasi atas dasar komitmen dan identitas emosional pada visi, filosofi, dan gaya mereka dalam diri bawahannya. Ia mengelompokkannya dalam dua tipe yaitu kharismatik visioner dan kharismatik di masa krisis”.[58]

Menurut Eko Maulana Ali (2013: 80) mengatakan bahwa:
“pemimpin kharismatik visioner mengekspressikan visi bersama mengenai masa depan, sedangkan pemimpin kharismatik di masa krisis menunjukkan pengaruhnya ketika sistem menghadapi situasi dimana pengetahuan informasi, dan prosedur yang tidak mencukupi”.[59]

Pengertian ini sejalan dengan pandangan Max Weber (1947) dalam Eko Maulana Ali (2013: 81) bahwa:
“kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial dimana seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu. Bagi para pengikut mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa yang membuat visi itu terlihat dapat dicapai”.[60]

2.5.2     Model dan Karakteristik Pemimpinan Kharismatik
Jika mengacu pada sejumlah definisi yang telah dikemukakan para ahli manajemen dan organisasi maka sangat dekat dengan model kepemimpinan transfomasional, karena hanya “kepemimpinan kharismatik sangat dekat dengan kepemimpinan transformasional karena hanya pemimpin yang memiliki kharisma besar yang bisa melakukan transformasi atau perubahan yang tergolong besar, berskala luas dan substantif sifatnya” Eko Maulana Ali (2013: 81).[61]
Robins (1994) dalam Eko Maulana Ali (2013: 82) menguraikan karakteristik utama dari pemimpin kharismatik sebagai berikut:
1)      Percaya diri, benar-benar pecaya akan kemampuan yang dimilikinya.
2)      Satu visi, merupakan tujuan ideal yang mengajukan masa depan yang lebih baik.
3)      Kemampuan mengungkapkan visi dengan gamblang.
4)      Keyakinan yang kuat mengenai visi tersebut.
5)      Perilaku yang diluar aturan.
6)      Dipahami sebagai seorang agen perubahan/perubahan yang radikal.
7)      Kepekaan lingkungan, mampu membuat penilaian yang realistis.[62]

2.5.3     Pemimpin Kharismatik Dilahirkan atau Dibentuk?
Sejarah mencatat bahwa sejumlah pemimpin besar dan kharismatik muncul dalam suasana krisis yang menuntut terjadinya perubahan besar. Pemimpin kharismatik yang muncul dalam suasana krisis atau arus gelombang perubahan yang besar adalah pemimpin yang dilahirkan, tetapi jika kelahirannya melalui proses dan muncul dalam suasana biasa saja, maka artinya pemimpin kharismatik bisa dibentuk, Eko Maulana Ali (2013: 84).[63]

2.6      Model Kepemimpinan Integratif: Proses, Praktik dan Dampaknya
2.6.1        Kepemimpinan Integratif yang Visioner
Menurut Eko Maulana Ali (2013: 225) mengemukakan bahwa pemimpin integratif adalah:
“pemimpin yang setiap saat dapat diajak berdiskusi, bertukar pikiran dan menerima saran dari bawahannya, dan sekaligus konsen kepada kehidupan pengikutnya. Dengan demikian pemimpin integratif mampu bersama-sama pengikutnya membangun visi organisasi yang dipimpinnya secara lebih terarah dan terstruktur, sehingga mudah dipahami untuk didalami menjadi visi bersama”.[64]

Lebih lanjut Eko Maulana Ali (2013: 225: mengemukakan bahwa: “pemimpin integratif merupakan pemimpin visioner yang mamapu mentransfer keinginannya ini menjadi visi organisasi”.
Sedangkan Burt Nanus dalam Eko Maulana Ali (2013: 225: mengemukakan bahwa:
“tidak ada mesin penggerak organisasi yang lebih bertenaga dalam meraih keunggulan dan keberhasilan masa depan, kecuali visi yang menarik, berpengaruh, dan dapat diwujudkan, serta mendapat dukungan luas”.[65]

Dari beberapa uraian di atas, Penulis menyimpulkan bahwa pemimpin integratif yang visioner adalah pemimpin dengan gaya demokratis dan tidak saja mengandalkan kemampuan intelektualnya untuk menjalankan visi tetapi selalu mendengar dan menerima saran dari bawahan maupun masyarakatnya.
Seorang pemimpin integratif yang visioner yang efektif harus mampu menstimulasi masyarakatnya untuk hanyut dalam visinya sehingga sepakat untuk membangun visi bersama dengan substansi yang tidak jauh berbeda dengan kehendak pemimpin dan para pemimpin integratif yang efektif harus mempelajari kelebihan dan kekurangan para pemimpin sukses di dunia, pemimpin nasional, tokoh-tokoh lokal, termasuk suri teladan kemimpinan para pendahulunya, (Eko Maulana Ali 2013: 270).[66]
2.6.2        Lima (5) Praktek dan Sepuluh Komitmen Pemimpin Integratif
Pemimpin integratif yang efektif harus mampu mencetuskan mensosialisasikan dan mengimpelementasikan komitmen atau janji yang harus mempertanggungjawabkan dalam rangka membangun masyarakat madani (civil society).
Th Five Practices and Ten Goverments of Leadrships (Lima Praktik Kepemimpinan dengan 10 komitmen) sebagaimana yang dicetuskan oleh James M. Kouses and Barry Z. Posner, dalam bukunya yang berjudul Leadership the Callenge (2002) yang dikutip oleh Eko Maulana Ali (2013) bahwa praktik dan komitmen tersebut akan diintegrasikan kepada pemimpin-pemimpin integratif yang efektif dalam rangka membangun masyarakat yang otonom, praktik dan komitmen-komitmen tersebut adalah:
a)      Memilih model kepemimpinan
Dalam memilih model kepemimpinan seorang pemimpin harus betul-betul diyakini akan membawa kesuksesan dalam proses kepemimpinan. Daalam suatu agadium disebutkan: you have to believe in something yourself first, before you can get others to believe. Artinya “Kamu harus percaya kepada dirimu sendiri, sebelum dapat membuat orang lain percaya kepada dirimu”. Setelah kita memilih model kepemimpinan integratif ini maka perlu ada komitmennya, yaitu:
1)      Memantapkan nilai-nilai (values), yang akan diadopsi untik mendrive cara berpikir.
2)      Membangun, memelihara dan meningkatkan kredibilitas. Mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara konsiten.
b)      Tahapan membangun Visi Bersama (Shared Vision)
Membangun visi bersama adalah suatu tahapan yang membedakan antara kepemimpinan transformasional dengan tipikal kepemimpinan lainnya. Visi dan misinya ditetapkan secara botton-up, yaitu dengan membangun aspirasi dari bawah atau masyarakat. Ada dua komitmen yang harus dibangun, yaitu:
1)      Menginspirasi visi: memvisikan masa depan organisasi atau pemerintah dengan impian dan harapan.
2)      Membangun visi bersama
c)      Tahapan membangun visi bersama
Pemimpin integratif yang efektif harus berani berinovasi dan bereksperimen dalam melaksanakan Visi Bersama.
Sedangkan komitmennya adalah:
1)      Berani berinovasi.
2)      Berani bereksperimen
d)      Berkolaborasi untuk membangun mmbangun kerjasama.
Ada dua komitmen yang perlu diperhatikan, yaitu:
1)      Terbuka dan membangun kolaborasi.
2)      Membangun kemitraan.
e)      Menciptakan suasana bawahan merasa puas terhadap hasil yang dicapai.
Adapun komitmennya:
1)      Memberikan apresiasi.
2)      Mengadakan acara ritual dan acara khususnya lainnya.[67]


2.7      Kabinet
Kabinet adalah suatu badan yang terdiri dari pejabat pemerintah senior/level tinggi, biasanya mewakili cabang eksekutif. Kabinet dapat pula disebut sebagai Dewan Menteri, Dewan Eksekutif, atau Komite Eksekutif, penyebutan ini tergantung pada sistem pemerintahannya dan diketuai oleh presiden atau perdana menteri sebagai pimpinan kabinet.[68]
Berdasarkan sejarahnya, awal mula kabinet adalah sebagai sub kelompok kecil dari Dewan Penasihat Monarki Inggris. Istilah ini berasal dari nama sebuah Kabinet (ruang) yang digunakan untuk mengkaji suatu masalah. 
Frase cabinet counsel, berarti nasihat yang diberikan secara pribadi kepada raja/ratu Inggris, muncul pada akhir abad ke-16, dan, memberikan ejaan yang tidak baku pada masa kini, seringkali sulit untuk membedakan apakah council atau counsel yang digunakan.[69] 
Oxford English Dictionary mengutip pernyataan Francis Bacon di dalam Essaysnya (1605) dengan penggunaan pertama Cabinet council, di mana hal itu dijelaskan kebiasaan asing, yang tidak disetujuinya: "Untuk mana ketidakmudahan, diktrin Italia, dan praktik Perancis, di beberapa zaman raja-raja, hath memperkenalkan cabinet counsel; cara untuk memulihkan lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Charles I memulakan "Cabinet Council" (Dewan Kabinet) yang formal dari kekuasaannya pada 1625, sebagai Dewan Penasihat Pribadi, atau "private council" (dewan pribadi), terbukti tidaklah cukup pribadi, dan penggunaan pertama yang tercatat dari "cabinet" (kabinet) itu sendiri untuk suatu badan yang berasal dari tahun 1644, dan lagi-lagi bermusuhan dan berserikat dengan istilah yang menunjukkan praktik asing. Proses ini berulang baru-baru ini, karena para pemimpin merasa harus memiliki Kabinet Dapur.[70]
Sedangkan di Indonesia, orang-orang yang berada di dalam kabinet disebut menteri, tugasnya adalah menjalankan amanat presiden dan memimpin departemen-departemen yang ada di dalam pemerintahan.[71]
2.1.1     Macam-Macam Kabinet
a.       Kabinet Presidensil
Kabinet presidensial adalah suatu kabinet dimana pertanggungjawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh presiden. Presiden merangkap jabatan sebagai perdana menteri sehingga para menteri tidak bertanggung jawab kepada parlemen/DPR melainkan kepada presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.[72]
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial sebagai berikut.
1.      Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
2.      Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
3.      Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.
4.      Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
5.      Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
6.      Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.[73]

b.      Kabinet parlementer
Kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang dibentuk dengan memperhatikan dan memperhitungkan suara-suara yang ada didalam parlemen. Jika dilihat dari komposisi (susunan keanggotaannya), kabinet parlementer dibagi menjadi tiga, yaitu kabinet koalisi, kabinet nasional, dan kabinet partai.[74]
Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut:
1.      Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
2.      Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
3.      Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
4.      Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
5.      Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan, ia hanya berperan sebagai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
6.      Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.[75]  

2.8      Sistem Pemerintahan Indosnesia
Setiap Negara memiliki sistem untuk menjalankan kehidupan pemerintahannya. Sistem tersebut adalah sistem pemerintahan.  Sejak tahun 1945 Indonesia pernah berganti sistem pemerintahan. Indonesia pernah menerapkan sistem parlementer dan presidensil. Selain itu terjadi juga perubahan pokok-pokok sistem pemerintahan sejak dilakukan amandemen UUD 1945.[76]
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Namun dalam perjalanannya, Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer karena kondisi dan alasan yang ada pada waktu itu. Berikut adalah sistem pemerintahan Indonesia dari 1945-sekarang.[77]

Tabel 1. Sistem Pemerintahan  yang pernah diterapkan di Indonesia
No
Tahun
Sistem Pemerintahan
1.
1945-1949
Presidensial
2.
1949-1950
Quasy Parlementer
3.
1950-1959
Parlementer
4.
1959-1966
Presidensil
5.
1966-1998
Presidensil

1.      Sebelum Amandemen UUD 1945
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
1)      Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
2)      Sistem Konstitusional.
3)      Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4)      Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5)      Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6)      Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7)      Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.[78]
Pemerintahan orde baru dengan tujuh kunci pokok di atas, berjalan sangat stabil dan kuat. Pemerintah memiliki kekuasaan yang besar. Sistem Pemerintahan Presidensial yang dijalankan pada era ini memiliki kelemahan pengawasan yang lemah dari DPR namun juga memiliki kelebihan kondisi pemerintahan lebih stabil.[79]
Di akhir era orde baru muncul pergerakan untuk mereformasi sistem yang ada menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan sebuah pemerintahan yang konstitusional (berdasarkan konstitusi). Pemerintahan yang konstitusional adalah yang didalamnya terdapat pembatasan kekusaaan dan jaminan hak asasi. Kemudian dilakukanlah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak 4 kali, tahun: 1999, 2000, 2001, 2002. Berdasarkan Konstitusi yang telah diamandemen ini diharapkan sebuah sistem pemerintahan yang lebih demokratis akan terwujud.[80]
2.      Sistem Pemerintahan Setelah Amandemen
a.       Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
b.      Bentuk pemerintahan adalah republik konstitusional, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
c.       Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
d.      Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
e.       Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
f.       Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.[81]
Dalam pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia setelah Amandemen Indonesia menganut Bentuk pemerintahan adalah republik konstitusional, sedangkan sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial.[82]
Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut:
1)      Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
2)      Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
3)      Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
4)      Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).[83]

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.



2.8.2   Kelebihan dan Kekurang Sistem Presidensil
a.       Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial
1)      Menteri tidak dapat di jatuhkan Parlemen karena bertanggung jawab kepada presiden.
2)      Pemerintah dapat leluasa waktu karena tidak ada bayang-bayang krisis kabinet
3)      Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya sebab tidak tergantung pada parlemen
4)      Masa jabatan badan eksekutif lebih pasti dengan jangka waktu tertentu. Misalkan, masa jabatan Presiden Amerika Serikat selama empat tahun, sedangkan Presiden Indonesia lima tahun.
5)      Penyusun program kerja kabinet lebih mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
6)      Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif sebab dapat diisi oleh orang luar termasuk juga anggota parlemen sendiri.[84]
b.      Kelemahan Sistem Pemerintahan Presidensial
1)      Pengawasan rakyat lemah
2)      Pengaruh rakyat dalam kebijakan politik negara kurang mendapat perhatian
3)      Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung badan legislatif sehingga dapat menimbulkan kekuasaan mutlak
4)      Sistem pertanggungjawaban kurang begitu jelas
5)      Pembuatan keputusan/kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif & legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas & memakan waktu yang lama.[85]

Menurut Umi dan Heri (dalam Arend Lijphart, 1955: 14-17) dalam sistem presiden terdapat kelebihan-kelebihan diantaranya: (1) adanya stabilitas eksekutif atau pemerintahan, (2) pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dipandang lebih demokratis daripada pemelihan tidak langsung dalam sistem parlementer, (3) adanya pemisahan kekuasaan, yang berarti pemerintahan dibatasi dan adanya perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah.[86]
Selanjutnya juga Umi dan Heri (dalam Arend Lijphart, 1955: 18-22) mencatat tiga kekurangan sistem presidensil yaitu: (1) masalah kemandegan atau konflik eksekutif-legislatif yang bisa berubah menjadi “jalan buntu” dan kelumpuhan sebagai akibat dari ko-eksistensi dari dua badan independen yang diciptakan oleh pemerintah presidensil, (2) kekuatan temporal, dimana masa jabatan presiden yang pasti menguraikan periode-periode yang dibatasi secara kaku dan tidak berkelanjutan sehingga tidak memberi kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian yang dikehendaki oleh keadaan, dan (3) sistem ini berjalan atas dasar aturan “pemenang menguasai semua yang cenderung membuat politik demokrasi sebagai sebuah permainan dengan semua potensi konfliknya.[87]

2.9      Kerangka Berpikir 

Gambar 1. Kerangka Pikir
 
  
 
 

Sumber : Olahan Penulis
Sesuai dengan skema kerangka berpikir di atas, dapat dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan sangat berpengaruh dalam proses penyusunan komposisi kabinet karena antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo memiliki latar belakang belakang yang berbeda yang dimana Susilo Bambang Yudhoyono adalah militer dan Joko Widodo adalah sipil yang berprofesi sebagai pengusaha. Pada umumnya kepemimpinan militer (1) tegas, berwibawa dan memiliki akses langsung di bidang pertahanan keamanan; (2) Mampu mengambil langkah – langkah strategis di saat krisis; dan (3) Mementingkan martabat negara daripada menjalin hubungan diplomatis dengan negara lain. Sedangkan kepemimpinan sipil: (1) tidak tegas, (2) tidak memiliki kewibawaan dalam menentukan langkah-langkah strategis di bidang pemerintahan dan (3) Tidak mampu bertahan dalam tekanan. Namun realitas bahwa dalam setia pengambilan keputusan Susilo Bambang Yudhoyono “Fikirkan Dulu, Laksanakan Kemudian”, sebaliknya Joko Widodo “Laksanakan Dulu, Fikirkan Masalah Yang Timbul Kemudian”. Artinya Susilo Bambang Yudhoyono kadang lamban dalam mengambil keputusan karena harus dipertimbangkan secara matang, sedangkan Joko Widodo apabila terjadi suatu persoalan tidak tanggung-tanggung dalam mengambil keputusan sedangkan resiko yang akan terjadi nanti baru dipikirkan.





BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  Jenis Penelitian
Mengadakan survey terhadap data yang telah ada merupakan langkah yang penting dalam metode ilmiah. Memperoleh data dari penelitian terdahulu harus dikerjakan, tanpa memperdulikan apakah sebuah penelitian menggunakan data primer atau data sekunder, apakah penelitian tersebut menggunakan Penulisan lapangan ataupun laboratorium atau di dalam museum. Menelusuri literatur yang ada serta menelaahnya secara tekun merupakan kerja kepustakaan yang sangat diperlukan dalam mengerjakan penelitian (Nasir, 2005: 93).
Survey terhadap data yang telah tersedia dapat dikerjakan setelah masalah penelitian dipilih atau dilakukan sebelum masalah dipilih. Jika studi kepustakaan dilakukan sebelum pemilihan masalah, penelaahan kepustakaan termasuk memperoleh ide tentang masalah apa yang paling up to date untuk dirumuskan dalam penelitian (Nasir, 2005: 93).
Dengan mengadakan survey terhadap data yang telah ada, si Peneliti menggali teori-teori yang telah berkembang dalam bidang ilmu yang berkepentingan, mencari metode-metode serta teknik penelitian, baik dalam mengumpulkan data terdahulu; memperoleh orientasi yang lebih luas dalam permasalahan yang dipilih, serta menghindarkan terjadi duplikasi – duplikasi yang tidak diinginkan. Studi literatur selain dari mencari sumber data sekunder yang akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana terdapat kesimpulan dan degeneralisasi yang telah pernah dibuat, sehingga situasi yang diperlukan dapat diperoleh. Dengan mengadakan studi terhadap literatur yang telah ada, si peneliti juga dapat belajar secara lebih sistematis lagi tentang cara-cara menulis karya, cara mengungkapkan buah pikiran yang akan membuat si peneliti lebih kritis dan analitis dalam mengerjakan Penulisannya sendiri (Nasir, 2005: 93).

3.2  Lokasi Penelitian
Seorang Peneliti dalam rangka pelaksanaan pengumpulan data, harus menentukan sumber-sumber data serta lokasi dimana sumber data tersebut dapat ditemukan dan diteliti. Berbeda dengan objek penelitian lapangan, lokasi penelitian untuk penelitian kepustakaan jauh lebih luas bahkan tidak mengenal batasan ruang. Hal ini berarti lokasi pengumpulan data dapat ditemukan di manapun manakala tersedia kepustakaan yang sesuai dengan objek material penelitian tersebut. Lokasi tersebut dapat merupakan tempat tertentu misalnya perpustakaan, toko-toko buku, pusat studi, pusat penelitian, bahkan dapat pula melalui internet. Dari berbagai lokasi Penulisan tersebut perpustakanlah sebagai salah satu sumber data yang paling kaya dan mudah di temukan (Kaelan, 2012: 147).
Sesuai dengan pendapat Kaelan di atas, maka yang dijadikan lokasi Penelitian ini adalah: Perpustakan Daerah Kabupaten Timor Tengah Utara.



3.3  Desain Penelitian
Tiap Penelitian harus direncanakan. Untuk itu diperlukan suatu desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara mengumpulkan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Desain penelitian yang banyak kita dapati ialah desain survey, case study dan eksperimen. (Nasution, 2007: 27-28).
Namun yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi komparasi dengan pendekatan kajian pustaka.
Studi kasus, atau penelitian kasus (case study), adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenan dengan suatu fase spesifik atas khas dari keseluruhan personalitas (Maxfield, 1930, dalam Nasir, 2005: 57). Subjek penelitian dapat berupa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan dari unit-unit sosial yang menjadi subjek. Tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara menteail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan jadikan suatu hal yang bersifat umum (Nasir, 2005: 57).
Studi kasus banyak dikerjakan untuk meneliti desa, kota besar, sekelompok manusia drop aut, tahanan-tahanan, pemimpin-pemimpin, dan sebagainya.
Lebih lanjut Nasution (2007: 27-28) mengatakan case study adalah bentuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia di dalamnya. Case study dapat dilakukan terhadap seorang individu, sekelompok (misalnya suatu keluarga), segolongan manusia (guru, suku dll), lingkungan hidup manusia (desa, sektor kota) atau lembaga sosial (perkawinan-perceraian). Case study dapat mengenai perkembangan sesuatu dan dapat pula memberi gambaran tentang keadaan ada.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini adalah Analisis perbandingan gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penyusunan kabinet.
3.3.1     Definisi Konsep
Definisi konsep merupakan tahapan memberikan batasan-batasan pengertian atau istilah terhadap suatu masalah sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan terperinci terhadap penelitian yang akan dilakukan. Agar fokus penelitian lebih jelas dan terarah, maka peneliti membuat pembatasan dan penegasan terhadap definisi konsep, yaitu sebagai berikut:
1)      Gaya kepemimpinan adalah kemampuan seseorang pemimpin dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
2)      Kabinet adalah dewan menteri yang bertugas membantu presiden serta diangkat dan diberhentikan oleh presiden.


3.3.2     Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran lanjut dari variable penelitian sehingga dapat diukur melalui analisis data-data yang ada kaitannya dengan gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penyusunan kabinet.
Analisis perbandingan gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penyusunan kabinet maka dapat dianalisis melalui aspek-aspek berikut:
                                 1.      Kedudukan SBY dan Jokowi Dalam Partai Politik
                                 2.      Jumlah Partai Politik Koalisi SBY dan Jokowi di Parlemen
                                 3.      Tekanan Politik yang dihadapi SBY dan Jokowi Paska Pilpres
                                 4.      Proses Seleksi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)  Jilid I dan Kabinet Kerja  
                                 5.      Perbandingan Strategi SBY dan Jokowi dalam Menghadapi Dinami Politik di Internal Partai Pendukung
                                 6.      Jumlah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I dan Kabinet Kerja sebelum Reshulfe
                                 7.      Orientasi SBY dan Jokowi dalam Menentukan Komposisi Kabinet

3.4  Instrumen Penelitian
Menurut Nasution dalam Kaelan (2012: 158) mengatakan bahwa suatu ciri khas penelitian kualitatif adalah peneliti secara langsung terjun dalam melakukan penelitian, bahkan Peneliti adalah “key instrument”. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa Peneliti harus secara aktif dan terlibat langsung dalam penelitian. Terutama dalam penelitian kepustakaan, Peneliti tak dapat menggunakan tenaga lain sebagai pembantu dalam melakukan pengumpulan data, dan jikalau ini dilakukan maka Peneliti akan mengalami kesulitan besar. Hal ini disebabkan bahwa dalam pengumpulan data kepustakaan, senantiasa dilandasai oleh keterangan atau dugaan sementara, yang dalam penelitian kualitatif disebut hipotesis (Kaelan, 2012: 158).
Jadi dalam penelitian kepustakaan Peneliti merupakan instrument utama, sehingga apa yang harus dikumpulkan pertama kali sangat tergantung pada Peneliti. Keterangan sementara memberikan arah terhadap unsur-unsur yang harus digali dari data penelitian yang terkandung dalam sumber data kepustakaan (Kaelan, 2012: 159).
Instrument berikutnya yang sangat penting dalam penelitian kepustakaan adalah kartu data. Namun instrumen ini bisa tidak dioperasionalkan karena mengingat situasi dan kondisi perpustakaan (Kaelan, 2012: 162).

3.5  Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data Penulisan studi kepustakaan kegiatan utama Penulis adalah membaca dan mencatat informasi yang terkandung dalam tersebut. Tugas utama Peneliti adalah menangkap makna yang terkandung dalam sumber data kepustakaan tersebut (Kaelan, 2012: 163).
Lebih lanjut di jelaskan oleh Nasir (2005: 103) bahwa membaca dan mencatat informasi merupakan bagian yang paling penting dalam studi kepustakaan.
Jadi teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah membaca dan mencatat atau mengutip hal-hal yang berkaitan dengan objek material yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

3.5.1     Membaca
Membaca segala keterangan yang ada hubungannya dengan penelitian sangat penting perannya dalam studi kepustakaan. Menurut Wilson Jr. dalam Nasir (2005: 103) memberikan dua tujuan utama membaca, yaitu untuk mencari apakah keterangan-keterangan mengenai Penulisan ada dan tersedia, dan kedua, untuk memperoleh latar belakang yang cukup dalam di dalam bidang penelitian yang dilakukan si Peneliti. Salah satu kegunaan utama membaca adalah untuk menunjukkan data komparatif (pembanding) yang berguna dalam mengadakan interpretasi hasil penelitian nantinya.
3.5.2     Mengutip Informasi
Karena daya ingat seseorang selalu dibatasi oleh dimensi waktu, maka apa yang penting dalam bacaan perlu dicatat. Jenis-jenis kutipan yang dibuat bisa dalam berbagai bentuk. Bentuk-bentuk penting adalah: quotasi, paraphrase, kesimpulan dan praisi. Quotasi adalah mengutip secara langsung tanpa mengubah satu katapun dari kata-kata pengarang. Dalam hal ini harus digunakan koma dua dan koma dua tutup (“ ”). Paraphrase adalah mengutip seluruh isi bacaan dengan menggunakan kata-kata si Penulis atau si pembaca sendiri. Ikhtisar atau summary adalah mencatat synopsis atau kependekan dari keseluruhan pemikiran yang ada dalam dengan menggunakan kata-kata sendiri. Précis (baca: praise) adalah pemendekan isi yang lebih padat dari summary, dengan memilih secara hati-hati material yang akan dipendekkan dengan menggunakan kata-kata sendiri yang tidak lari dari rencana orisional artikel (Nasir, 2005: 103-104).

3.6  Sumber Data
Sumber data dalam Penulisan kualitatif studi kepustakaan banyak sekali dari buku teks sampai dengan surat kabar. Dalam penelitian ilmiah, selain dari buku referensi digunakan juga sumber-sumber berikut: (a) Buku teks (textbook); (b) Jurnal; (c) Yearbook; (d) Bulletin; (e) Annual review; dan Recen advances (Nasir, 2005: 105).
Sumber data yang digunakan dalam Penulisan ini adalah sumber dari bahan bacaan yang disebut sumber sekunder. Sumber-sumber sekunder meliputi sumber lain seperti majalah, bulletin, publikasi dari berbagai organisasi, lampiran-lampiran dari badan – badan resmi seperti kementerian-kementerian, hasil-hasil studi, tesis, hasil survey, studi historis, dan sebagainya. (Nasution, 2007: 144-145).
Bahan – bahan dari sumber sekunder dapat dipandang sebagai data yang dikumpulkan sendiri dank arena itu harus diberi perlakuan dan pengolahan yang sama. Artinya bahan itu masih perlu diseleksi, digolongkan diselidiki validitas dan reliabilitasnya, dibandingkan sebelum digunakan untuk menguji hipotesis dan teori masalah penelitian kita (Nasution, 2007: 145).
Data itu dapat digunakan untuk memperoleh generalisasi-generalisasi yang bersifat ilmiah atau memperoleh pengetahuan ilmiah yang baru, dan dapat pula berguna sebagai pelengkap informasi yang telah dikumpulkan sendiri oleh Peneliti. Dan akhirnya itu dapat juga memperkuat penemuan atau pengetahuan yang telah ada (Nasution, 2007: 145).
Sumber sekunder (secondary resources), juga termasuk dokumen-dokumen ekspresif (expressive documents), seperti biografi, autobiografi, surat-surat, dan buku-buku harian termasuk juga laporan media massa (mass media reports) baik melalui surat kabar, majalah, radio, televise, maupun media cetak dan elektronis lainnya (Sanapiah Faisal, 2007: 53). 
Jadi sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder.
3.7  Tahap Analisis Data
3.7.1   Analisis pada Waktu Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif kepustakaan bidang ilmu interdisipliner, analisis data tidak hanya dilakukan setelah pengumpulan data, melainkan juga pada waktu proses pengumpulan data. Setiap aspek pengumpulan data, Penulis senantiasa sekaligus melakukan suatu analisis. Dalam memenuhi tujuan penelitian, pada waktu pengumpulan data Peneliti melakukan aspek demi aspek, sesuai dengan peta Penulisan (Kaelan, 2012: 173).
3.7.2   Analisis Setelelah Pengumpulan Data
Setelah dilakukan proses pengumpulan data, Peneliti menghadapi sejumlah besar data mentah yang masih harus ditentukan hubungan satu dengan yang lainnya. Data yang telah terkumpul belum mampu menjawab permasalahan dan tujuan penelitian, karena belum ditemukan konstruksi teoritisnya. Oleh karena itu, setelah proses pengumpulan data maka Peneliti kemudian melakukan analisis data (Kaelan, 2012: 175).
Sebagaimana pendapat Patton (1980), bahwa yang dimaksud dengan analisis “proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar” (Patton dalam Kaelan, 2012: 175).
Oleh karena itu, setelah proses pengumpulan data, kemudian dilakukan proses analisis data sebagai berikut.
a.      Reduksi Data
Setelah dilakukan pengumpulan data dari berbagai sumber data, semua data diinventalisir dalam bentuk uraian yang terperenci. Jadi laporan penelitian yang berupa data penelitian masih merupakan bahan mentah direduksi, disingkatkan, dipadatkan intisarinya, dan disusun secara sistematis sehingga mudah dikendalikan. Jadi melalui proses reduksi data, Penulis akan mudah untuk mengarahkan hasil analisis data kearah teori grounded, yaitu suatu pola bangunan teoritis sebagai hasil pengamatan data sebagaimana terkandung dalam masalah dan tujuan penelitian (Kaelan, 2012: 176).
b.      Klasifikasi Data
Setelah dilakukan reduksi data, langkah selanjutnya adalah klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data-data berdasarkan ciri khas masing-masing berdasarkan objek formal penelitian (Kaelan, 2012: 176-177).
c.       Display Data
Proses display data dilakukan dengan membuat kategorisasi, mengelompokkan kepada kategori tertentu, membuat klasifikasi dan menyusunnya dalam suatu sistem sesuai dengan peta masalah penelitian (Kaelan, 2012: 177).
Proses display data merupakan proses yang sistematis untuk menuju pada proses konstruksi teoritis, karena dengan dilakukannya proses analisis display data, maka dapat diketahui hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya (Kaelan, 2012: 177).

3.8  Objek Penelitian
Objek penelitian dalam ilmu dapat dibedakan atas objek formal dan objek material. Objek formal adalah objek yang menyangkut sudut pandang, yaitu dari sudut pandang apa objek material kajian ilmu itu dibahas atau dikaji. Adapun objek material adalah objek adalah objek yang merupakan fokus kajian dari suatu ilmu pengetahuan tertentu (Kaelan 2012: 49).
Jadi yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah perbandingan gaya kepemimpinan antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo dalam penentuan komposisi kabinet.
3.9  Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam setiap proses analisis data, tergantung pada tipe atau model Penulisan yang dilakukan, mengingat dalam Penulisan kualitatif kepustakaan bidang ilmu interdisipliner terdapat banyak tipe dan modelnya tergantung pada objek formal dan material Penulisan (Kaelan, 2012: 178). Oleh karena dari sekian banyak metode yang diuraikan oleh Kaenal, Penulis hanya memilih beberapa metode yang disesuaikan dengan objek formal dan material penelitian, yaitu sebagai berikut.
a.      Metode Verifikasi Historis
Setelah data terkumpul dalam berbagai kategorinya, tahap berikutnya adalah melakukan verifikasi, atau sering dalam ilmu sejarah disebut kritik untuk memperoleh keabsahan sumber sejarah (Kaelan, 2012: 189-190).
Jadi dalam metode ini Peneliti melakukan verifikasi untuk mencari tahu keabsahan berita yang diterbitkan oleh suatu media.
b.      Metode Deskriptif Historis
Metode deskriptif historis dalam penelitian sejarah adalah untuk melukiskan, menjelaskan, dan menerangkan fakta sejarah. Metode ini berupaya untuk melukiskan peta sejarah, yaitu menyangkut tentang apa, siapa, kapan, bagaimana dan dimana peristiwa itu terjadi (Kartodirdjo dalam Kaelan, 2012: 191).
Jadi dalam metode penelitian ini Peneliti mendeskripsikan objek material dalam penelitian ini, yaitu Peneliti melukiskan tentang apa, siapa, bagaimana, dan dimana peristiwa itu terjadi.
c.       Metode Rekonstruksi Biografis
Untuk meneliti latar belakang seorang tokoh atau beberapa tokoh atau beberapa tokoh, harus dilakukan rekonstruksi biografi, metode ini diterapkan dalam rangka untuk memahami kepribadian seseorang tokoh yang menjadi objek penelitian sejarah. Latar belakang “sosio cultural, religious, di mana tokoh itu dibesarkan, bagaimana proses pendidikan intelektualnya, watak orang yang ada disekitarnya dan lain sebagainya” (Kaelan, 2012: 192).
Lebih lanjut Nasir (2005: 53) mengatakan bahwa metode sejarah yang digunakan untuk meneliti seseorang dan hubungannya dengan masyarakat dinamakan penelitian biografis. Dalam metode ini, diteliti “sifat-sifat, watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan ide dari subjek penelitian dalam masa hidupnya, serta pembentukan watak figure yang diterima selama hayatnya.
Jadi dalam metode ini Peneliti menelusuri biografi para tokoh yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, kemudian membandingkannya menggunakan metode analisis komparaif (perbandingan) dengan beberapa indikator.
d.      Metode Komparatif
Jika penelitian dengan metode historis (sejarah) dikerjakan untuk membandingkan faktor-faktor dan fenomena-fenomena sejenis pada suatu periode masa lampau maka Penulisan tersebut dinamakan penelitian tersebut dinamakan penelitian sejarah komparatif. Dalam hal ini, si Peneliti ingin memperlihatkan unsur-unsur perbedaan dan persamaan dari fenomena – fenomena sejenis (Nasir, 2012: 52).
Setiap orang memiliki ciri kas masing-masing dalam arti menyangkut cara berpikirnya maupun isi dari pemikirannya. Sistem pemikiran yang demikian ini memang sangat menarik untuk diteliti dalam suatu model penelitian komparatif (Kaelan, 2012: 199).
Metode komparatif diterapkan dalam rangka melakukan pembandingan dua pemikiran dalam ilmu interdisipler bidang sosial, budaya, filsafat maupun keagamaan atau konsep-konsep lainnya yang disesuaikan dengan objek formal dan material penelitian (Collin, 1975; dan Bakker dalam Kaelan, 2012: 199).
Tahap-tahap metode komparatif menurut Kaelan (2012: 199) adalah sebagai berikut:
1)      Dilakukan deskripsi masing – masing konsep atau gaya kepemimpinan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian
2)      Dilakukan display masing-masing konsep atau pemikiran dan atau gaya kepemimpinan yang dianut oleh tokoh atau pemimpin, kemudian ditentukan asas pembandingnya.
3)      Dicari ciri kas masing-masing, serta dicari kesamaan dan perbedaan kedua obek formal dan material yang akan diteliti.
4)      Melakukan evaluasi kritis, yaitu melakukan suatu analisis evaluatif terhadap kedua objek tersebut kemudian dilakukan penyimpulan.










DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing.

Faisal, S. 2007. Format-Format Penulisan Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Kaelan, H. 2012. Metode Penulisan Kualitatif Interdisipliner Bidang: Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.

Nasution, S. 2007. Metode Research (Penulisan Ilmiah). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Nasir, Mohammad. 2005. Metode Penulisan. Penerbit Ghalia Indonesia.

Suyanto, I. 2014. Pemimpin Berkaki Rakyat “Membangun Parpol Berbasis Kader”. Yogyakarta: Galang Pustaka

Internet
Adad Danuarta. 2014. Gaya Kepemimpinan Menurut Para Ahli. http:// adaddanuarta.blogspot. co. id/2014/11/gaya-kepemimpinan-merurut-para-ahli.html

Arief Muchtarom. 2010. Kepmimpinan. http://ariefmuchtarom. blogspot. co.id /2010/01/ kepemimpinan. html diakses tanggal 13 Maret 2017.

Berita.suaramerdeka.com. Antara Perfeksionis dan Koboi http://berita. suaramerdeka. Com /smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/ diakses tanggal 13 maret 2017

blogspot.com. Sistem Pemerintahan Indonesia. http://sistempemerintahan-indonesia. blogspot. com/ diakses 2 Februari 2017.

Faturkrachman. 2016. Makalah Perbedaan di Bidang Politik. http:// faturkrachman. blogspot. co. id/2016/12/makalah-perbedaan-di-bidang-politik.html diakses tanggal 13 maret 2017.

http://digilib.unila.ac.id/9251/3/BAB%20II.pdf diakses tanggal 13 maret 2017

Juanda Wijaya. 2006. Menimbang Kepemimpinan Sipil dan Militer. http://juanda-wijaya. blogspot.co.id/2006/05/menimbang-kepemimpinan-sipil-dan.html diakses tanggal 13 Maret 2017.

Juan Dinash. 2013. Sistem Pemerintahan Indonesia. Diakses pada tanggal 2 Februari 2017. http://sistempemerintahan-indonesia. blogspot.co.id /2013/03/sistem-pemerintahan-indonesia.html


Kompas.com. 2016. Pengamat Joko Widodo Berani Ambil Resiko Susilo Bambang Yudhoyono Lebih Suka Manjakan Rakyat. http://nasional.kompas.com/read /2016/03/ 21/ 2117 4301/Pengamat.Joko Widodo.Berani.Ambil.Resiko. Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih. Suka. Manjakan. Rakyat  diakses tanggal 13 maret 2017
Mindtalk.com. Bedanya Kabinet Kerja Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono. https:// www. mindtalk. com/ channel /coffeebreak/ post/bedanya-kabinet-kerja-Joko Widodo-dan- Susilo Bambang Yudhoyono-529525400846471365.html diakses tanggal 13 maret 2017.

Maturbongs, E. 2010. Kabinet Presidensil dan Parlementer. Diakses pada tanggal 1 Februari 2017.https://ematurbongs.blogspot.co.id/2010/04/kabinet-presidensil-dan-parlementer.html

Rahayu, Srikandi. 2014. Seputar Pengertian Kabinet Pemerintahan. diakses pada tanggal 1 Februari 2017 http://seputarpengertian. blogspot.co.id /2014 /09/seputar-pengertian-kabinet-pemerintahan.html

Suara Merdeka.com. Antara Perfeksionis dan Koboi. http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/ diakses tanggal 13 maret 2017.

www.coursehero.com. Pembawaan Susilo Bambang Yudhoyono Karena Dibesarkan Dalam Lingkungan Tentara dan ia Juga Berlatar. https:// www. coursehero. com/file/ p1sjt2v/ Pembawaan- SUSILO BAMBANG YUDHOYONO-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/ diakses tanggal 13 maret 2017.

www.rmol.co. 2014. Bias Makna Blusukan. http://www.rmol.co/ read /2014/ 11/11/179420/Bias-Makna-Blusukan. diakses tanggal 13 Maret 2017.

Perperaturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945


[1] http://ariefmuchtarom.blogspot.co.id/2010/01/kepemimpinan.html diakses tanggal 13 maret 2017
[2] http://juanda-wijaya.blogspot.co.id/2006/05/menimbang-kepemimpinan-sipil-dan.html diakses tanggal 13 maret 2017
[3] http://digilib.unila.ac.id/9251/3/BAB%20II.pdf diakses tanggal 13 maret 2017
[4] http://wahib-ramadhan.blogspot.co.id/p/pemerintahan-sipil-milliter.html diakses tanggal 13 maret 2017
[5]https://www.mindtalk.com/channel/coffeebreak/post/bedanya-kabinet-kerja-jokowi-dan-sby-5295254 008 46471365.html diakses tanggal 13 maret 2017
[7] http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/antara-perfeksionis-dan-koboi/ diakses tanggal 13 maret 2017
[8]https://www.mindtalk.com/channel/coffeebreak/post/bedanya-kabinet-kerja-jokowi-dan-sby-529525400846471365.html diakses tanggal 13 maret 2017
[9]https://www.mindtalk.com/channel/coffeebreak/post/bedanya-kabinet-kerja-jokowi-dan-sby-5295254008464 71365. html diakses tanggal 13 maret 2017
[10] https://id-id.facebook.com/gasby2/posts/670594279623698 diakses tanggal 13 maret 2017
[11] Ibid
[12] http://nasional.kompas.com/read/2016/03/21/21174301/Pengamat. Jokowi.Berani. Ambil.Resiko. SBY. Lebih.Suka.Manjakan.Rakyat  diakses tanggal 13 maret 2017
[13]https://www.coursehero.com/file/p1sjt2v/Pembawaan-SBY-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/ diakses tanggal 13 maret 2017.
[14] http://www.rmol.co/read/2014/11/11/179420/Bias-Makna-Blusukan diakses tanggal 13 maret 2017
[15] https://www.coursehero.com/file/p1sjt2v/Pembawaan-SBY-karena-dibesarkan-dalam-lingkungan-tentara-dan-ia-juga-berlatar/ diakses tanggal 13 maret 2017
[16] http://faturkrachman.blogspot.co.id/2016/12/makalah-perbedaan-di-bidang-politik.html diakses tanggal 13 maret 2017
[17]Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[19] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[22] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[24] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[25] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[26] http://adaddanuarta.blogspot.co.id/2014/11/gaya-kepemimpinan-merurut-para-ahli.html diakses tanggal 14 Maret 2017
[27] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[28] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[29] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[30] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing.
[32] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[34] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[37] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[38] Suyanto, I. 2014. Pemimpin Berkaki Rakyat “Membangun Parpol Berbasis Kader”. Yogyakarta: Galang Pustaka
[40] Suyanto, I. 2014. Pemimpin Berkaki Rakyat “Membangun Parpol Berbasis Kader”. Yogyakarta: Galang Pustaka
[42] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[45] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[48] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[51] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[54] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[56] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[58] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[61] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[63] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[64] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[66] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[67] Ali, Maulana E. 2013. Kepemimpinan Integratif Dalam Konteks Good Governance. Jakarta: PT. Multicerdas Publishing
[82] Ibid hal. 41

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JURNAL ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KEPEMIMPINAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DENGAN JOKOWI DALAM PENYUNAN KABINET